THE SECRET OF THE HAUNTED MIRROR by Alfred Hitchcock Text by Mary Carey TRIO DETEKTIF MISTERI CERMIN BERHANTU Alihbahasa: Agus Setiadi Penerbit: PT Gramedia September 1986 DJVU: Syauqy_Arr (syauqy_arr@yahoo.co.id) http://hanaoki.wordpress.com Edit by: zhe (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net Misteri Cermin Berhantu Malam makin pekat, Jupe menunggu - sendirian - di puncak tangga lebar yang kuno itu. Dia memandangi cermin tua yang tergantung di ruang perpustakaan yang gelap. Tegang... dan ngeri. Tiba-tiba terdengar tawa seram. Jupe meremang. Seberkas cahaya hijau berpendar dalam ruang perpustakaan. Lalu Jupe melihatnya - sebentuk wajah pucat berambut kelabu kusut. Matanya yang bersinar kehijauan, melotot memandangnya! PESAN ALFRED HITCHCOCK KALIAN yang sudah tahu siapa Trio Detektif, tidak perlu lagi membaca kata pendahuluan ini. Kalian langsung saja ke Bab Satu, untuk mengikuti kisah petualangan mereka yang paling baru. Namun kalau baru kali ini kalian akan berkenalan dengan Jupiter Jones, Pete Crenshaw, dan Bob Andrews - baiklah kusampaikan beberapa keterangan tentang diri ketiga remaja itu, serta perusahaan detektif mereka. Mereka bertempat tinggal di Rocky Beach, California, di sebuah kota kecil di dekat kota film yang termasyhur, Hollywood. Jupiter Jones, atau Jupe untuk orang-orang yang akrab dengannya, berpotongan gempal. Remaja berotak cerdas ini pemimpin Trio Detektif. Ia sangat cekatan dalam hal-hal yang memerlukan pekerjaan otak. Tingkah lakunya - yah, bisa dibilang agak sok! Pete Crenshaw, tangan kanan Jupe, berpotongan kekar. Tapi ia lebih suka berhati-hati dalam menghadapi sesuatu. Ia sering cemas, kalau melihat tingkah Jupiter, yang kadang-kadang seperti nekat. Kalau Bob Andrews, anaknya pendiam, dan berpotongan seperti ilmuwan. Tapi juga sangat cermat dalam menangani tugas mencari informasi yang bisa berguna bagi Trio Detektif dalam usaha pengusutan mereka. Ketiga penyelidik remaja itu bermarkas di sebuah karavan usang yang terdapat di kompleks penimbunan barang-barang bekas, yang diperjualbelikan paman Jupiter. Tapi kegiatan mereka tidak hanya terbatas pada kota Rocky Beach saja. Dalam kasus sekarang ini mereka akan berurusan dengan sebuah gedung tua di Hollywood - yang kata orang ada hantunya; mereka ke situ dalam upaya mencari seseorang yang menghilang ke dalam sebuah cermin. Mungkinkah itu? ALFRED HITCHCOCK Bab 1 "PENCURI!" "PAMAN Titus keasyikan siang ini," kata Jupiter Jones. Remaja bertubuh gempal itu berdiri sambil menyandar ke spatbor mobil pick-up milik The Jones Salvage Yard, perusahaan paman dan bibinya yang berdagang barang-barang bekas. "Sebentar saja ia berhasil memperoleh empat lembar jendela kaca timah, seperangkat dinding tempat perapian dari marmer, sebuah bak rendam antik, dan tujuh lembar daun pintu dari kayu mahoni." Pete Crenshaw mengerang sambil mendudukkan diri di pinggir trotoar. "Siapa bilang sebentar," keluhnya. "Menurutku tadi itu lama, karena harus menaikkan segala barang itu ke atas truk. Bak rendamnya saja, beratnya sudah satu ton!" Bob Andrews nyengir. "Memang bukan pekerjaan ringan," katanya, "tapi asyik rasanya menonton paman Jupiter, jika ia sedang memborong barang-barang." Jupe mengelap keningnya dengan lengan. Sehabis makan siang tadi ia ikut dengan Paman Titus ke luar kota, bersama Bob dan Pete. Di daerah perbukitan sebelah atas kota Hollywood ada sebuah rumah tua yang akan digusur, dan Paman Titus bertekad hendak menyelamatkan apa saja yang masih bisa diselamatkan dari rumah itu. Sementara itu hari sudah hampir pukul empat sore. Sinar matahari yang terik seolah membakar daerah perbukitan. Saat itu bulan Agustus, di tengah-tengah musim panas. Hawa panas nampak seperti bergelombang, menyelubungi kota Hollywood yang terbentang di bawah. "He, Jupe," kata Pete, "pamanmu sedang apa sih? Kenapa begitu lama di dalam?" "Pasti untuk meyakinkan dirinya bahwa tidak ada benda berharga yang terlepas dari perhatiannya," jawab Jupiter Jones. Kedua temannya mengangguk, tanda sependapat. The Jones Salvage Yard, perusahaan milik paman dan bibi Jupiter, tersohor di sepanjang kawasan pesisir barat Amerika Serikat karena kekayaan jenis barang yang dijual di sana. Paman Titus rajin keluyuran menjelajahi kawasan Los Angeles, mencari-cari pintu antik, tempat lampu berbentuk lain dari yang lain, pintu gerbang, pagar, benda-benda dari logam, serta perabot bekas. Kadang-kadang ia pulang dengan membawa barang-barang yang begitu aneh, sehingga sulit menjualnya kembali. Itu biasanya menyebabkan Bibi Mathilda agak mengomel. Tapi bibi Jupiter itu kemudian selalu menyuruh Hans dan Konrad, yaitu dua pemuda berbangsa Jerman yang bekerja sebagai pembantu di perusahaan, untuk menyediakan tempat untuk menaruh barang aneh yang baru dibeli suaminya. Dan lambat-laun barang yang paling aneh pun pasti terjual juga. Dan kalau itu terjadi, Paman Titus selalu membusungkan dada. Jupiter tersenyum ketika Paman Titus akhirnya muncul dari gedung besar tiruan gaya rumah orang Inggris yang kaya di zaman Ratu Victoria, yang dibangun di ujung atas jalan yang bernama Crestview Drive. Paman Jones bercakap-cakap sebentar dengan mandor para pekerja yang sebentar lagi akan menggusur rumah itu, dan di situ rencananya akan dibangun kompleks rumah susun. Setelah bersalaman dengan mandor itu, Paman Titus berjalan ke bawah, menuju ke mobil. "Oke," katanya pada anak-anak. "Tidak ada lagi benda yang pantas diselamatkan di dalam. Sayang, sebetulnya rumah seperti ini takkan dibangun lagi. Sewaktu masih baru, pasti megah kelihatannya. Tapi sekarang semuanya sudah lapuk, dan dimakan rayap." Paman Titus mendesah. Diusapnya kumis hitamnya yang melintang, lalu naik ke kabin pick-up-nya. "Yuk, kita berangkat!" serunya. Dengan cepat Jupe dan kedua temannya naik ke bak belakang, duduk di antara pintu-pintu mahoni serta daun-daun jendela berkaca timah. Pick-up itu mulai bergerak dengan lambat, menuruni jalan curam menuju ke Hollywood. Jupe memandang ke kiri-kanan jalan. Dilihatnya umumnya rumah di sekitar situ terawat baik. Gedung-gedung yang mengapit kiri-kanan jalan berukuran besar sekali, dan nampak sudah tua. Ada yang dibangun dengan gaya rumah daerah pedesaan di Inggris, sebagian seperti puri di Prancis, dan banyak juga yang meniru gedung-gedung tempat kediaman golongan berharta di zaman penjajahan Spanyol, dengan dinding berturap serta atap genteng tebal berwarna merah. "He, coba lihat itu!" Bob menepuk bahu Jupe, lalu menuding sebuah rumah bergaya Spanyol yang sangat besar. Rumah itu terletak di sisi kanan jalan. Di depannya ada sebuah mobil. Mobil yang sangat istimewa. Rolls-Royce hitam mengkilat, dengan lis dan pegangan pintu berselaput emas. "Rolls-Royce kita!" kata Jupiter begitu melihat mobil itu. "Kalau begitu, Worthington pasti ada di dekat-dekat sini." Beberapa waktu yang lalu, Jupiter memenangkan suatu sayembara yang disponsori "Rent-'n-Ride Auto Company", sebuah perusahaan penyewaan mobil. Hadiah yang dimenangkannya, ialah hak menggunakan Rolls-Royce antik itu selama tiga puluh hari. Mobil itu lengkap dengan pengemudinya, sopir Rolls-Royce yang khas, dari Inggris. Namanya Worthington. Sementara itu ia sudah sering mengantarkan ketiga remaja itu, yang dalam melakukan tugas penyelidikan selaku Trio Detektif berkali-kali terlibat dalam berbagai misteri, menemukan harta tersembunyi, serta menggagalkan bermacam-macam rencana kejahatan. Kemudian, ketika hak menggunakan Rolls-Royce sudah lewat waktunya, seseorang yang merasa berutang budi karena pernah ditolong oleh Trio Detektif membereskan urusan penyewaan mobil mewah itu, sehingga ketiga remaja itu terus bisa menggunakannya kapan saja mereka perlu. Paman Titus memperlambat kendaraannya ketika melewati Rolls-Royce yang diparkir itu. Saat itu pintu depan rumah besar terbuka dengan cepat. Seorang lelaki bertubuh kecil dan kurus, dengan setelan jas berwarna gelap, berlari secepat-cepatnya ke luar. "Berhenti! Jangan lari, penjahat!" Worthington mengejar orang itu. Paman Titus mengerem, sementara Pete meloncat turun dari bak belakang lalu melesat maju, hendak menahan orang yang lari itu. "Pencuri! Tahan dia!" teriak Worthington. Pete menerjang lelaki kecil itu. Maksudnya hendak memegang pinggangnya. Tapi orang yang dikejar Worthington itu, walau kecil, ternyata lincah. Tahu-tahu kepalan tinjunya melayang ke depan. Pete merasakan kenyerian yang pedas di bawah mata sebelah kanan. Kakinya terasa lemas, dan ia pun roboh ke samping. Ia masih bisa mendengar bunyi langkah berlari, disusul pintu mobil yang ditutup dengan keras. Worthington mengumpat dengan keras. Tapi dasar sopir teladan, umpatannya tidak kasar. Tapi lantang! Pete membuka matanya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya yang terasa pusing. Worthington membungkuk di depannya, memperhatikan dirinya. "Kau tidak apa-apa, Pete?" tanya sopir berbangsa Inggris itu. "Cuma napasku saja yang agak sesak. Sebentar." Bob dan Jupe berlari-lari, menghampiri Pete. "Orang itu berhasil meloloskan diri," kata Bob. "Ia punya mobil, diparkir agak ke sebelah bawah." Worthington meluruskan tubuhnya yang lebih dari semeter delapan puluh tingginya. Wajahnya yang lonjong dan biasanya nampak cerah, saat itu merah karena marah -juga karena habis berlari. "Kenapa saya sampai bisa kalah cepat berlari dari kunyuk itu?" tukasnya. Kemudian air mukanya nampak agak cerah lagi. "Tapi setidak-tidaknya ia pontang-panting ketakutan!" katanya. Bab 2 RUMAH CERMIN "IA berhasil meloloskan diri, Worthington? Polisi sudah kupanggil." Jupiter terkejap. Pete mengusap mukanya dengan sikap bingung, sementara Bob memandang dengan mulut ternganga ke arah wanita yang saat itu muncul di ambang pintu depan rumah besar bergaya Spanyol itu. "Ya, apa boleh buat, Madam," kata Worthington. Wanita itu datang menghampiri mereka. Tiba-tiba Jupe menyadari bahwa mulutnya ternganga, lalu dengan cepat ia menutupnya. Jupiter Jones tidak gampang terkejut. Tapi siapa pun pasti akan kaget melihat seorang wanita yang mengenakan gaun zaman dulu yang lebar dari bahan brokat tebal, lengkap dengan simpai-simpai yang membuatnya mengembang seperti sangkar. Ketika wanita itu sudah dekat, barulah nampak oleh Jupiter bahwa rambut putih yang ditata tinggi di atas kepalanya ternyata wig yang diberi bedak. "Mrs. Darnley," ujar Worthington, "izinkanlah saya memperkenalkan kawan-kawan saya, Trio Detektif." "Siapa?" Sesaat wanita itu kelihatan heran. Tapi kemudian tersenyum. "Ah, ya - ketiga penyelidik remaja itu. Worthington pernah bercerita tentang kalian. Sebentar." Ia mengangguk ke arah Jupiter. "Kurasa, kau tentunya Jupiter Jones." "Betul," kata Jupe. Kemudian Worthington memperkenalkan Bob dan Pete. "Pete tadi berusaha mencegat tamu tak diundang itu," katanya menjelaskan. "Kau cedera?" tanya wanita itu. "Tidak," jawab Pete sambil bangkit dengan lamban. "Syukurlah. Orang yang memasuki rumah orang lain tanpa izin bisa berbahaya." Saat itu Paman Titus turun dari kendaraannya. "Dan ini Mr. Titus Jones, Mrs. Darnley," kata Worthington. Mrs. Darnley tersenyum ramah. "Wah, saya senang bisa berkenalan dengan Anda!" katanya. "Nama Anda sudah saya kenal, begitu pula perusahaan Anda. Saya berniat datang ke sana, untuk melihat apakah Anda punya cermin-cermin yang menarik." "Cermin?" kata Paman Titus. "Ya - kegemaran saya mengumpulkan cermin. Masuklah sebentar, untuk melihat koleksi saya itu." Wanita itu berpaling, lalu berjalan kembali ke rumah. Gerak langkahnya menyebabkan gaunnya yang lebar mendesir-desir. "Selalu begitukah dandanannya?" tanya Pete. "Orangnya sangat mengasyikkan," kata Worthington. "Saya cukup sering juga mengantarnya, karena ia tidak mau punya mobil. Kalian pasti terkagum-kagum melihat rumahnya." Rumah Mrs. Darnley ternyata memang sangat menarik. Anak-anak serta Paman Titus mengikuti Worthington, masuk melalui sebuah ruang depan yang remang-remang. Aneh, rasanya dingin di situ. Di sisi kiri ada tangga berbentuk anggun, menuju ke tingkat dua. Di belakangnya terdapat lorong panjang dan sempit ke arah samping, hampir sepanjang bangunan itu. Di sisi kanan, sepasang daun pintu berukir yang terbuka menampakkan sebuah ruangan lain. Ruangan itu gelap, sehingga tidak nampak apa yang ada di dalamnya. Worthington mengantarkan keempat tamu itu lurus ke depan, memasuki sebuah ruang duduk yang lapang. Dinding-dinding ruangan itu kelihatannya seperti penuh dengan bayangan yang bergerak-gerak. Gorden tebal menghalangi sinar matahari masuk dari luar. Sesaat kemudian barulah Jupiter dan kedua temannya sadar bahwa yang nampak bergerak-gerak itu bayangan mereka sendiri di cermin. Berlusin-lusin cermin. Mungkin bahkan ratusan jumlahnya. Mereka melihat bayangan dari bayangan mereka. Mereka saat itu seolah-olah bukan hanya bertiga, tapi tiga puluh. Atau bahkan tiga ratus! "Bagus ya?" Bayangan Mrs. Darnley bergeser ketika ia tahu-tahu muncul di sisi Pete, memantul dari cermin ke cermin. "Saya rasanya agak pusing," kata Pete. "Kalau begitu duduklah," kata Mrs. Darnley menyarankan. Ia sendiri duduk di tepi sebuah kursi kecil, dekat tempat perapian. "Cermin-cerminku ini, hampir semuanya barang antik," katanya menuturkan, "dan semuanya punya riwayat sendiri-sendiri. Kegemaranku mengumpulkan cermin, sudah sejak lama. Sejak aku masih kecil. Kalian ingat kisah tentang Alice yang masuk ke dalam cermin, dan tahu-tahu berada di suatu dunia ajaib di mana segala-galanya terbalik? Dulu, ketika masih kecil aku mengira bahwa aku pun bisa melakukannya -jika bisa menemukan cermin yang ajaib." Saat itu seorang anak laki-laki yang sebaya dengan Pete memasuki ruangan. Besarnya juga sepantar. Rambut anak itu warnanya seperti wortel sedang mukanya pada bagian hidung penuh bintik. Ia diikuti seorang anak perempuan yang tingginya hampir sama dengan anak laki-laki itu. Tapi warna rambutnya lebih coklat. Anak perempuan itu tersenyum ke arah Worthington, yang berdiri dengan sikap kaku di dekat salah satu jendela. Pandangan anak itu beralih ke Paman Titus, dan kemudian pada Jupe dan kedua temannya. "Ini cucu-cucuku," kata Mrs. Darnley. "Jean dan Jeff Parkinson. Anak-anak - ini Mrs. Titus Jones pemilik The Jones Salvage Yard yang terkenal itu. Dan mereka ini Jupiter, keponakan Mr. Jones, serta kedua temannya, Bob dan Pete." "Wah - Trio Detektif, ya!" seru Jeff. "Kebetulan sekali," kata anak yang perempuan. "Tepat saat kita baru kedatangan maling - meski ia tidak mengambil apa-apa." "Tidak ada yang hilang?" tanya Mrs. Darnley. "Sepanjang yang bisa kami ketahui, tidak ada," jawab Jean, cucu perempuan wanita itu. Saat itu terdengar bunyi sirene. Datangnya dari arah bawah bukit, dan semakin mendekat. "Pasti itu polisi yang datang," kata Mrs. Darnley. "Jean, silakan mereka masuk nanti. Dan Anda, Worthington, duduklah! Anda begitu kikuk kelihatannya, berdiri di situ seperti tiang." "Baik, Madam," kata Worthington, lalu duduk di salah satu kursi. Jean mengantar dua petugas patroli polisi yang masih muda ke dalam ruangan. Satu dari mereka rupanya kaget ketika melihat penampilan Mrs. Darnley dengan busananya yang bergaya kuno. Topi dinasnya terlepas dari tangannya, jatuh ke lantai. Kekagetannya dianggap biasa saja oleh Mrs. Darnley, yang langsung menuturkan secara ringkas apa yang tadi terjadi di situ. "Saya tadi sedang minum teh di atas," katanya. "Pelayan saya, John Chan, saat itu juga ada di sana, mengurus hidangan. Kami berdua sama-sama tidak mendengar apa-apa yang lain dari biasanya. Maling itu pasti mengira sedang tidak ada orang di sini. Tapi ia kemudian dipergoki Worthington dan kedua cucu saya, ketika mereka kembali dari pasar. Saat itu ia sedang berada di ruang perpustakaan. Sepanjang yang kami ketahui saat ini, tidak ada sesuatu pun yang diambilnya. Mungkin belum sempat." Setelah itu Worthington, dan juga Trio Detektif memberi keterangan tentang orang yang lari ke luar dari rumah itu. Menurut mereka, orang itu bertubuh pendek dan sangat kurus, berambut coklat tua, sudah setengah umur, tapi bertenaga kuat dan lincah. Sedang Jupiter menambahkan keterangan tentang mobil orang itu. "Ada ribuan mobil seperti itu," kata salah seorang petugas polisi. "Kau sempat mencatat nomornya?" "Aduh, sayangnya tidak," kata Jupiter. "Mobil itu berlumur lumpur, termasuk pelat nomornya." Polisi yang bertanya mendesah, sambil mencatat dalam notesnya. "Kami tahu bagaimana caranya masuk," kata Jean Parkinson. "Ia mendobrak kunci pintu dapur." Polisi tadi mengangguk. "Cara yang biasa," katanya mengomentari. "Pintu belakang, selalu payah kuncinya." "Tapi pintu belakang rumah ini baik sekali kuncinya," kata Mrs. Darnley. "Saya selalu berhati-hati dalam hal-hal seperti itu. Mungkin Anda sudah melihat sendiri, jendela-jendela di sini semuanya diamankan dengan terali besi. Sedang pintu cuma ada dua saja, yaitu pintu depan, dan di belakang - dari dapur ke garasi. Kedua-duanya diamankan dengan sepasang kunci gerendel. Orang itu membuka pintu dapur secara paksa. Dengan linggis. Jeff, antarkan petugas-petugas ini ke dapur. Tunjukkan pada mereka!" Kedua petugas polisi itu ikut dengan Jeff ke dapur. Tidak lama kemudian mereka sudah kembali lagi. Seorang di antaranya membawa linggis, yang dipergunakan oleh tamu tak diundang tadi untuk mendobrak pintu dapur. "Petugas kami dari bagian penelitian sidik jari mungkin bisa menemukan sesuatu pada batang besi ini," kata polisi itu. "Orang itu memakai sarung tangan," kata Pete. "Kau yakin?" "Ya! Aku tidak mungkin keliru, karena kepalan tinjunya tadi sempat mampir di mukaku." Setelah mengatakan akan menghubungi Mrs. Darnley begitu diperoleh petunjuk yang mungkin bisa dipakai untuk mengetahui siapa sebenarnya tamu tak diundang itu, kedua petugas kepolisian itu pergi. Worthington juga minta diri, karena harus mengembalikan mobil ke perusahaan. "Kelihatannya urusan ini akan berakhir sampai di sini saja," kata Mrs. Darnley. "Yah - pokoknya tidak ada apa-apa yang hilang! Nah - maukah kalian melihat-lihat rumah ini? Pemiliknya dulu Drakestar, tukang sulap yang termasyhur itu. Ia yang membangun." "Drakestar?" Sikap duduk Jupiter berubah. Pengetahuannya luas tentang orang-orang teater. "Jadi ini rumah Drakestar? Saya pernah membaca bukel mengenai dia." Mrs. Darnley mengangguk. "Ya, dan ia meninggal dunia di sini. Menurut cerita orang, rumah ini berhantu. Tapi aku sendiri belum pernah melihat sesuatu yang aneh di sini. Tapi ayolah, jika kalian suka melihat barang-barang kuno yang menarik." Ia menyeberangi ruang duduk itu, dan membuka sebuah pintu berdaun ganda. Paman Titus, Trio Detektif, begitu pula Jean dan Jeff Parkinson mengikuti dari belakang, masuk ke sebuah ruang makan yang sangat luas. Gorden-gorden di ruangan itu terbuka. Cahaya matahari yang memancar dari arah barat masuk ke dalam menyentuh dinding-dinding yang dilapisi kain damas tebal berwarna merah. Di atas bufet tergantung sebuah cermin dengan bingkai berukir yang disepuh emas. Cermin itu kelihatannya sudah sangat tua, dan pada beberapa bagian, kertas perak yang melapisi sisi belakangnya sudah terkelupas. "Ini salah satu koleksiku yang istimewa," kata Mrs. Darnley. "Asalnya dari istana tsar Rusia, di St. Petersburg, yang sekarang bernama Leningrad. Mungkin Ratu Katherina Agung juga pernah bercermin di sini. Tapi apakah betul, itu tidak bisa kita pastikan! Begitu banyak orang yang pernah berkaca di sini, sehingga mungkin saja ada sedikit bayangan dari masing-masing tokoh itu yang tertinggal di dalam cermin ini." Dapur terdapat di belakang sepen, yang letaknya sesudah ruang makan. Di situlah anak-anak menjumpai John Chan, pelayan Mrs. Darnley. Orang itu bertubuh ramping dan masih muda, berumur dua puluhan. Nampak jelas bahwa ia keturunan Asia, tapi bahasa Inggrisnya berlogat Boston. Ia melaporkan bahwa ia sudah memanggil tukang kayu dan tukang kunci, jadi sebelum gelap pintu dapur sudah akan selesai dibetulkan. "Syukurlah," kata Mrs. Darnley, yang kemudian menggerakkan tangannya ke arah sebuah pintu. "Itu kamar John," katanya, "aku tidak diizinkannya memasang cermin di dalamnya." Pelayan itu tersenyum. "Begini saja pun, saya sudah terlalu banyak melihat diri saya mondar-mandir di mana-mana," katanya. "Nah - sekarang kita melihat-lihat hartaku yang selebihnya." Mrs. Darnley membuka pintu lain, lalu melangkah masuk ke sebuah lorong panjang dan sempit. Lorong itulah yang tadi nampak, ketika keempat tamunya masuk ke dalam gedung. "Ketika Drakestar masih tinggal di sini," kata wanita itu, "bagian depan ini merupakan ruang pesta yang luas. Ruangan itu kemudian kujadikan beberapa kamar yang... yah, bisa dibilang ruang-ruang pameran sejarah." Mereka berdesak-desak masuk ke sebuah ruangan yang terdapat di pojok. Dindingnya diberi warna seperti tanah lempung. Di situ ada sebuah ranjang sempit lalu sebuah peti bertutup kulit, kursi kayu, dan meja yang terbuat dari papan yang dikerjakan dengan tangan. Di sebelah atas meja yang menempel ke dinding itu tergantung sebuah cermin sederhana, berbingkai kayu mapel. "Cermin itu dikirim ke California, waktu banyak orang membanjir kemari setelah di kawasan ini ditemukan emas," kata Mrs. Darnley. "Datangnya dari New England, dan dipesan oleh seorang Amerika yang ingin menikah dengan putri seorang bangsawan Spanyol. Cermin itu merupakan hadiah, sewaktu mereka pacaran." "Lalu, jadikah ia menikah dengan putri bangsawan itu?" tanya Bob. "Ya, mereka jadi menikah - dan itu kemudian ternyata bukan langkah yang bijaksana. Pria Amerika itu rupanya orang yang gemar berjudi. Segala miliknya habis karena kegemarannya yang buruk itu. Bilik ini tiruan tempat yang ditinggali putri bangsawan itu. Pada akhir hayatnya, wanita malang itu tidak punya apa-apa lagi. Benar-benar jatuh miskin!" Ruang berikutnya berwujud kamar tempat menerima tamu yang serba rapi pengaturannya. Mrs. Darnley menamakan kamar itu Ruang Victoria. "Ini tiruan kamar di mana Ratu Victoria suka duduk-duduk bersama ibunya ketika ia masih gadis remaja, sebelum dinobatkan menjadi ratu. Segala perabot ini kusuruh buatkan meniru aslinya. Tapi cermin yang di sebelah atas tempat perapian itu asli, kepunyaan Ratu Victoria. Atau mungkin ibunya. Aku suka membayangkan Ratu Victoria sewaktu masih remaja sering menatap bayangannya di situ - begitu muda dan polos, dengan sekian tahun masa-masa keagungan di hadapannya. Kadang-kadang aku duduk di sini, dengan busana khusus. Tapi aku bukan lantas mengkhayal bahwa aku Victoria yang masih remaja. Untuk itu, aku sudah terlalu tua. Aku kadang-kadang mengkhayal, bahwa aku ibunya." Setelah itu ditunjukkan bilik selanjutnya, yang disebutnya Bilik Lincoln, presiden Amerika Serikat semasa terjadi perang saudara antara negara-negara bagian kelompok Utara melawan Selatan. Bilik itu gelap, tertutup, dan acak-acakan. "Ini tiruan bilik tempat Mary Todd Lincoln sering berada semasa tuanya, dihantui perasaan letih dan kesepian, lama setelah Presiden Lincoln tewas dibunuh. Cermin itu asli, dulu kepunyaannya." Paman Titus berdiri dengan sikap gelisah di samping Jupiter. "Rasanya ruang ini memilukan," katanya. "Sangat memilukan," kata Mrs. Darnley sependapat, "tapi orang-orang ternama, umumnya menjadi terkenal karena peristiwa memilukan." Ditutupnya kembali pintu bilik kecil itu. Tiba-tiba sikapnya berubah, nampak lincah. "Ruang Marie Antoinette ada di atas. Aku punya cermin muka yang kecil peninggalan ratu Prancis itu, serta beberapa perhiasan lain yang biasa dipakai olehnya. Gaun yang kupakai ini kusuruh buatkan, dengan meniru salah satu lukisan dirinya." "O," kata Jupiter dengan suara lirih. "Dan ruangan itu juga memilukan?" "Mungkin juga, kalau kita melihatnya dari segi tertentu," kata Mrs. Darnley. "Tapi ruang itu cantik. Aku suka duduk-duduk di dalamnya, tapi aku selalu memaksa diri agar jangan mengingat bagaimana kematiannya. Memang malang nasibnya, ratu yang tidak bijaksana itu. Nanti kutunjukkan ruangan itu, yang kusuruh buatkan dengan meniru salah satu ruangan yang ada di Istana Versailles. Tapi sebelumnya kalian harus melihat tambahan koleksiku yang paling baru." "Benar-benar menyeramkan, deh," kata Jean Parkinson, cucu perempuan Mrs. Darnley. "Bisa dipastikan bahwa kalian pasti takkan suka melihatnya," kata Jeff menambahkan. "Ya, memang jelek," kata nenek mereka mengakui, "tapi aku sangat bangga memilikinya." Ia berjalan dengan gaunnya yang mendesir-desir, menyusur lorong itu, lalu melintasi ruang masuk. Paman Titus dan anak-anak mengikutinya, melewati pintu yang berdaun ganda, masuk ke ruang gelap yang nampak ketika mereka masuk ke gedung itu tadi. Begitu Mrs. Darnley menyingkapkan gorden-gorden yang semula menutupi jendela, dengan segera nampak bahwa itu ruang perpustakaan. Ketiga dindingnya penuh dengan buku yang ditaruh di dalam rak-rak. Dinding keempat, yang paling dekat ke jalan, dilapisi panel kayu berwarna gelap. Ada dua jendela panjang di situ. Dan di antara kedua jendela itu terpasang sebuah cermin berukuran besar, yang hampir menutupi seluruh dinding di belakangnya. "Hiii!" seru Pete. Cerminnya sendiri, sama sekali tidak luar biasa. Paman Titus dan anak-anak nampak tercermin jelas di dalamnya, persis aslinya. Tapi bingkainya - nah, itulah yang aneh. Terbuat dari bahan yang mestinya logam, dan dibentuk menjadi sejumlah wujud aneh dan tidak enak dilihat. Akar berbelit-belit, di sana-sini diselipi wajah-wajah berukuran kecil. Wajah makhluk-makhluk seperti manusia, tapi tidak bisa dibilang manusia. Di antaranya ada yang bertanduk pada kening. Ada lagi yang matanya hanya berupa celah sempit. Ada pula yang menyeringai jahat. Dan di bagian atas bingkai itu ada sesosok tubuh kerdil dengan telinga yang ujung atasnya runcing. Makhluk itu memeluk seekor ular. "Apa..." kata Bob tergagap, sambil menuding, "apa itu?" "Di Spanyol, mereka disebut trasgos, " kata Mrs. Darnley menjelaskan. "Dalam bahasa Inggris, kita mengenalnya dengan nama goblin. Jadi semacam tuyul, begitu! Cermin itu dulu milik seorang tukang sulap. Namanya Chiavo. Tinggalnya di Madrid." "Di Spanyol?" tanya Jupiter. "Ya, di Spanyol, tapi sekitar dua abad yang lalu. Pada zamannya, ia tentu saja tidak disebut tukang sulap, tapi penyihir! Chiavo itu mengaku bisa memandang ke dalam cermin. Tapi bukan seperti kita kalau memandang cermin, yang kelihatan bayangan kita sendiri. Tidak! Ia mengatakan, dengan memandang ke dalamnya, ia bisa melihat hantu- hantu tanah. Melihat goblin, atau trasgos, dalam bahasa mereka. Hantu-hantu itu, menurut pengakuannya, bisa mengatakan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang." "Menurut takhyul, hantu-hantu itu tinggal di dalam gua, di sela-sela akar pepohonan - pokoknya di segala tempat yang menyeramkan seperti itu," kata Jeff. "Mereka berteman dengan, ular dan cacing." "Ih," kata Jean Parkinson jijik. "Aku bangga sekali memiliki cermin ini," kata Mrs. Darnley sekali lagi. "Semua cermin koleksiku mempunyai riwayat sendiri-sendiri, dan banyak yang pernah menjadi saksi kecantikan wajah yang luar biasa, begitu pula peristiwa-peristiwa yang sangat memilukan. Tapi cermin Chiavo ini, kata orang, cermin sihir. Yah - itu tentu saja jika kita mau percaya pada cerita-cerita semacam itu!" Mrs. Darnley nampaknya sangat mengharapkan bahwa riwayat cermin itu benar. Begitulah penilaian Jupiter Jones. Saat itu terdengar bunyi bel di belakang mereka. Itu bel pintu depan. "Mungkin Senor Santora," kata Jean. Dipandangnya ketiga anggota Trio Detektif sambil nyengir. "Tuan itu datang dari Spanyol. Ia juga pengumpul benda-benda menarik - dan seperti Nenek, sangat tergila-gila pada cermin. Ia ingin sekali membeli cermin dengan hantu-hantu kecil jelek itu. Setiap hari ia kemari, sekitar saat seperti sekarang ini." Bel pintu depan berbunyi lagi. Mrs. Darnley mengalihkan tatapan matanya dari cermin ke pintu depan, lalu kembali lagi ke cermin. "Setiap hari," katanya, "sudah lebih dari seminggu ia datang setiap hari, dan hari ini..." Ia tidak melanjutkan kalimatnya. "Dan hari ini," kata Jupiter menyambung dengan pelan, "hari ini seorang tamu tak diundang dipergoki ketika sedang berada di dalam ruangan ini." "Tapi tidak ada yang mungkin membawa lari cermin itu," kata Jeff menyanggah. "Bingkainya terbuat dari baja. Jadi berat sekali! Sewaktu menggantungkannya, diperlukan tenaga tiga orang." Mrs. Darnley mengangkat dagunya. Air mukanya kini kelihatan tegar. "Mr. Jones," katanya pada Paman Titus, "saya harap Anda dan anak-anak sudi tetap di sini, untuk melihat Senor Santora. Worthington nampaknya memberi nilai tinggi untuk kemampuan Trio Detektif. Saya ingin tahu penilaian mereka tentang orang Spanyol itu." Bel berbunyi sekali lagi. "Persilakan Senor, Santora masuk," kata Mrs. Darnley pada Jean, tanpa menunggu jawaban Paman Titus. Bab 3 KUTUKAN CHIAVO ORANG yang diantar masuk oleh Jean bertubuh pendek gempal, dan berambut hitam. Matanya lebar, berwarna coklat tua. Ia mengenakan setelan berwarna cerah, terbuat dari bahan yang kelihatan mahal, berkilat seperti sutra. Wajahnya yang halus, tidak menampakkan jejak umur maupun pikiran, tapi saat itu berona kemerahan, seakan-akan sedang marah. "Senora Darnley, harap Anda..." Kalimat orang itu terputus, karena saat itu barulah ia melihat bahwa di ruangan itu ada orang lain, yaitu Paman Titus dan Trio Detektif. Kening pria Spanyol itu berkerut, sementara bibirnya menipis. "Saya tadi mengharapkan Anda... Anda..." Ia berhenti lagi, seolah-olah sedang mencari-cari kata dalam bahasa Inggris. "Saya tadi berharap akan menjumpai Anda sendirian, tanpa tamu," katanya kemudian. "Silakan duduk, semuanya," kata Mrs. Darnley, sambil mendului duduk. Ia memandang Senor Santora, lalu mengangguk dengan sikap yang tidak bisa dibilang ramah. "Saya sedang bercerita pada kawan-kawan saya ini, tentang koleksi yang paling saya banggakan. Tentang cermin hantu ini." "Cermin peninggalan Chiavo, penyihir termasyhur," kata Santora sambil duduk. Ia meletakkan sebuah paket yang dibungkus dengan kertas putih ke atas meja tempat lampu yang ada di sampingnya. "Cermin yang mengagumkan!" "Sangat mengagumkan," kata Mrs. Darnley. "Senor Santora, saya sendiri pernah bersusah payah ketika berusaha memperoleh beberapa di antara cermin-cermin koleksi saya. Tapi sikap Anda yang ngotot, sudah keterlaluan. Konyol!" "Keinginan memiliki cermin peninggalan Chiavo, bukan kekonyolan," kata pria Spanyol itu. "Mrs. Darnley - Senora - saya ingin berbicara sebentar dengan Anda. Antara empat mata." "Itu tidak perlu," jawab Mrs. Darnley, "karena tidak ada yang harus dibicarakan." "O, ada, Senora." Suara pria Spanyol itu meninggi. Sikap duduknya berubah, membungkuk ke depan. Ia menunggu. Tapi semua tetap duduk seperti patung, di kursi masing-masing. Tidak ada yang beranjak. "Begitu rupanya," kata Senor Santora kemudian. "Jadi harus ada saksi pembicaraan kita. Baiklah - jika itu keinginan Anda, Senora. Saya sudah mengajukan penawaran yang menarik, sebagai imbalan cermin itu. Sekarang saya akan lebih bermurah hati lagi. Anda saya beri sepuluh ribu dolar untuk cermin Chiavo itu, ditambah sesuatu dari koleksi saya." Kini disodorkannya paket berbungkus kertas putih itu ke arah Mrs. Darnley. "Ini, cermin muka yang ditemukan di tengah reruntuhan kota Pompeii." Mrs. Darnley tertawa. "Uang saya sendiri sudah banyak - melebihi yang menurut perkiraan akan mungkin saya belanjakan," katanya. "Sedang peninggalan dari kota Pompeii, bukan merupakan barang yang sangat langka. Tapi cuma ada satu cermin trasgos, cermin hantu tanah." "Betul, hanya ada satu cermin semacam itu," kata Senor Santora sependapat. "Hanya ada satu, di dunia ini. Dan saya harus bisa memilikinya, Senora!" "Tidak bisa," kata Mrs. Darnley. "Tapi ini penting sekali artinya! Anda takkan bisa membayangkan, betapa pentingnya!" seru Santora. "Tentu saja penting, jika memang satu-satunya di dunia. Tapi bagi saya itu sama pentingnya, seperti bagi Anda. Kenapa koleksi Anda harus lebih baik daripada kepunyaan saya?" "Anda harus saya peringatkan, Senora!" kata Santora dengan suara keras. Tangannya terkepal. Jupiter Jones melihat bahwa Mrs. Darnley meluruskan sikap duduknya. "Terhadap apa, Senor Santora?" tanya wanita itu, sambil menatap wajah pria Spanyol itu lurus-lurus. "Tahukah Anda Senor, bahwa hari ini ada orang memasuki rumah ini secara paksa? Ia terpergok di sini. Dalam ruangan ini!" Wajah Senor Santora yang semula nampak merah, langsung berubah - menjadi agak pucat. Ia melirik ke arah cermin. "Dalam ruangan ini? Tapi... tidak, dari mana saya bisa mengetahuinya!" "Mudah-mudahan saja begitu," jawab Mrs. Darnley. Pria Spanyol itu menatap lantai sesaat, lalu memandang tangannya sendiri. "Ia dipergoki? Di sini?" Santora mengangkat kepalanya kembali, lalu tersenyum. Nampak bahwa ia memaksa diri. "Ya, menurut berita-berita dalam surat kabar daerah, di sini berkeliaran pencuri-pencuri yang suka memasuki rumah-rumah yang sedang kosong di siang hari. Mudah-mudahan polisi di sini akan bersikap keras terhadap orang itu, Senora." "Sayangnya, ia berhasil meloloskan diri," kata Mrs. Darnley. "Ah, begitu ya?" Kening Santora berkerut, seakan-akan ia sedang memikirkan suatu masalah. "Saya tidak bisa bercerita apa-apa mengenai orang yang masuk kemari itu, Senora," katanya. "Kita sama-sama tahu, satu orang - seorang laki-laki bertubuh kecil - takkan mungkin kuat membawa sendiri cermin Chiavo. Tapi cermin itu mengandung ancaman." "Ah," kata Mrs. Darnley. "Saya selama ini tidak sepenuhnya berterus terang pada Anda," kata Santora lagi. "Saya ini sebenarnya bukan pengumpul benda-benda langka. Cermin peninggalan Pompeii ini - baru saya beli kemarin, dari seorang pedagang di Beverly Hills." "Mudah-mudahan saja tidak terlalu mahal harganya," kata Mrs. Darnley, dengan nada yang tidak lagi ketus. "Bisa saja terlalu mahal, jika karenanya Anda tidak lantas sudi melepaskan cermin Chiavo," kata Santora. "Soalnya begini, Senora, bukan cuma cermin itu saja yang tidak ada duanya di dunia ini. Saya juga begitu. Saya ini tidak ada duanya!" "Tapi penampilan Anda tidak kelihatan terlalu istimewa, Senor Santora." Mrs. Darnley kelihatan geli. "Akan saya ceritakan sekarang kisah cermin itu," kata Santora. "Saya sudah tahu," sahut Mrs. Darnley. "Itu hanya sangkaan Anda saja." Baik air muka maupun nada suara Santora tidak lagi mengesankan kemarahan. Ia berbicara dengan suara lembut, nyaris seperti sedang memohon. "Semasa hidupnya, Chiavo itu penyihir besar. Cermin itu dibuat khusus sesuai dengan pesannya. Dan ketika sudah jadi, banyak sekali ramalan yang diutarakannya. Ia bisa melihat ke dalam cermin, memandang tempat kehidupan makhluk-makhluk kerdil, hantu-hantu yang hidup dalam dunia di bawah dunia kita ini. Dan hantu-hantu itu banyak menyebutkan hal-hal yang benar tentang berbagai kejadian yang akan datang waktu itu. Lalu pada suatu hari Chiavo menghilang." "Itu sudah saya ketahui," kata Mrs. Darnley. "Dan cermin ini dititipkannya pada suatu keluarga, di Madrid. Nama keluarga itu Estancia." Santora mengangguk. "Semuanya benar, sampai sebegitu," katanya. "Tapi bukan hanya itu kisahnya. Chiavo banyak musuhnya - orang-orang yang merasa takut padanya, dan yang mengatakan bahwa ia mencelakakan mereka. Karenanya Chiavo tidak pernah mengatakan pada orang luar bahwa keluarga yang bernama Estancia itu sebenarnya keluarganya sendiri. Mereka istri dan anak lelakinya. Anak lelaki itu kemudian berputra, dan putranya mendapat anak perempuan. Lalu ketika anak perempuan ini menikah, pupuslah nama keluarga Estancia. Tapi cermin sihir Chiavo tetap ada di tangan keturunannya. Kemudian, lebih dari empat puluh tahun yang lalu, jadi sebelum saya dilahirkan, cermin Chiavo hilang. Dicuri orang! Kejadiannya di Madrid. Tapi pencurinya menebus perbuatan jahatnya dengan bayaran yang mahal sekali. Ayah saya menemukan jejaknya, lalu..." "Ayah Anda?" seru Mrs. Darnley. "Maksud Anda, Anda hendak mengatakan bahwa Anda ini keturunan Chiavo?" Santora membungkuk. "Ya, satu-satunya yang masih tersisa. Ayah saya sudah meninggal dunia. Sayalah satu-satunya keturunan yang masih hidup, dan cermin itu harus kembali menjadi milik saya. Itu milik saya, dan saya harus mewariskannya pada anak lelaki saya." Mrs. Darnley tidak mengatakan apa-apa. Kelihatan bahwa ia sedang berpikir. "Jika ayah Anda berhasil menemukan jejak pencuri itu," katanya kemudian, "jika cermin itu dicuri sekian tahun yang lalu, apa sebabnya tidak kembali menjadi miliknya lagi?" "Karena pencuri yang mula-mula mencurinya saat itu sudah mati, dan cermin Chiavo diambil penjahat lain. Di tangan kami, keturunan Chiavo, cermin ini aman. Kami mengetahui rahasianya. Kami tahu cara mempergunakannya. Dengan cermin ini, kami bisa mengetahui masa depan." "Banyak gunanya juga, kalau begitu," kata Mrs. Darnley. "Memang. Tapi berbahaya, jika jatuh ke tangan orang yang bukan keturunan Chiavo! Orang yang mencurinya dari ayah saya ditemukan sudah mati di rumahnya. Satu-satunya tanda yang ditemukan adalah semacam bekas terbakar di keningnya - tapi ia tidak bernyawa lagi. Dan cermin itu lenyap! Ayah saya melanjutkan upayanya, menemukan jejaknya. Sekali didengarnya bahwa cermin itu ada di tangan seorang laki-laki, yang tinggal di Barcelona. Ayah saya datang ke tempat orang itu. Tapi lagi-lagi terlambat. Orang itu sudah mati, menggantung diri. Pemilik rumah yang ditinggali orang yang bunuh diri itu menjual cermin itu, dan orang yang membelinya..." "Juga mati menggantung diri?" tanya Mrs. Darnley. "Tewas dalam kecelakaan kereta api. Ia sudah mati sebelum ayah saya sempat menghubunginya, lalu anak laki-laki orang yang tewas itu memberikan cermin itu pada seorang teman, yang hendak pergi ke Madrid. Ia - maksud saya, anak laki-laki orang yang tewas itu - mengatakan, sebelum tewas ayahnya melihat bayangan dalam cermin. Katanya, ia melihat seorang lelaki berambut putih dan gondrong, dengan mata berwarna hijau yang menatap dengan aneh. Yang dilihatnya itu bayangan Chiavo. Ayah saya tidak heran mendengarnya. Soalnya, kami keturunannya tahu ke mana Chiavo pergi ketika tahu-tahu menghilang. Ia masuk ke dalam cermin, pergi ke tempat-tempat gelap di perut bumi, ke sarang hantu-hantu tanah. Ia masih tetap di sana sekarang. Tapi sekali-sekali ia datang ke balik cermin dan memandang ke luar. Jika bayangannya nampak dalam cermin, itu berarti peringatan bahwa akan ada bahaya." Mrs. Darnley memegang kerongkongannya. "Ia masuk... ke dalam cermin?" "Seperti Alice, yang masuk ke Negeri Ajaib," kata Jean. Suaranya lirih, hampir seperti berbisik. "Saya... itu tidak masuk akal bagi saya," kata Mrs. Darnley. "Itu kata Anda sekarang," kata Santora dengan mantap. "Tapi Anda kan tahu sendiri kelanjutannya. Orang yang pergi ke Madrid itu kemudian menjualnya pada seorang mahasiswa universitas di situ. Nama mahasiswa itu Diego Manolos. Tidak lama sesudah membeli cermin peninggalan Chiavo, Manolos pergi dari Spanyol. Ia kembali ke tempat kelahirannya. Anda tahu tempat itu, Senora Darnley. Sebuah pulau kecil, di negara yang bernama Ruffino. Di situ ia menikah dengan seorang wanita teman Anda, yang sampai sekarang masih tetap teman Anda. Dan apa kata teman Anda itu tentang cermin ini?" "Ia tidak menyukainya," kata Mrs. Darnley. "Menurut dia, cermin ini jelek. Kenyataannya memang begitu. Ia sebetulnya sudah lama hendak menghadiahkannya pada saya. Tapi suaminya tidak mengizinkan. Teman saya itu tidak pernah mengatakan, pernah melihat sesuatu yang aneh di dalamnya. Cermin itu lebih dari tiga puluh tahun ada di tangan Manolos, tapi istrinya tidak pernah melihat hantu di dalamnya." Santora membungkukkan tubuhnya ke arah Mrs. Darnley. Ia berbicara dengan suara lirih sekali, sehingga Jupiter mengalami kesulitan untuk menangkap kata-katanya. "Cermin itu dihinggapi kutukan," kata Santora. "Kutukan Chiavo! Semua yang memiliki cermin itu, tapi bukan keturunan Chiavo, akan terkena kutukannya." "Tapi Diego Manolos tidak kena kutukan," kata Mrs. Darnley menyanggah. "Ia bahkan sangat berhasil dalam karirnya. Ia menjadi penasihat kepala negara Ruffino." "Mungkin kutukan itu menghinggapi istrinya," kata Santora. Ditatapnya Mrs. Darnley, tanpa berkedip. "Coba Anda ceritakan tentang teman Anda, istri Manolos itu, Senora Darnley. Berbahagiakah hidupnya?" Mrs. Darnley memalingkan muka. "Yah... sebetulnya, tidak!" katanya. "Saya rasa Isabella Manolos tidak berbahagia, ketika suaminya masih hidup. Saya rasa, Manolos bersikap buruk terhadapnya. Tapi kini Manolos sudah meninggal dunia, dan..." "...dan istrinya kemudian langsung mengirimkan cermin itu pada Anda," kata Santora, seperti mengingatkan. "Betul. Itu karena ia tahu bahwa saya ingin memilikinya." Mrs. Darnley bergidik, seakan baru terbangun dari sebuah mimpi buruk. Ia berdiri. "Senor Santora, Anda baru saja menceritakan kisah yang tidak masuk akal bagi saya. Tidak mungkin ada orang bisa menghilang ke dalam cermin! Tapi jika Anda sungguh-sungguh keturunan Chiavo, tentunya ada dokumen-dokumen untuk menegaskannya. Maksud saya, surat-surat kelahiran dan surat-surat nikah. Jika cermin ini benar-benar milik keluarga Anda, saya takkan berkeras menahannya. Tapi Anda perlu membuktikan dulu, bahwa Anda benar-benar berhak." Santora ikut berdiri. Diambilnya paket yang selama itu terletak di atas meja kecil di samping kursi yang didudukinya. "Bertahun-tahun lamanya keluarga kami melacak jejak cermin itu" katanya. "Ayah saya menyusulnya dari Madrid ke Barcelona, lalu kembali lagi ke Madrid. Saya mengikutinya ke Ruffino. Tapi ketika sampai ke janda Manolos, ternyata saya terlambat datang. Kini saya ada di sini. Saya memerlukan waktu lagi untuk mendatangkan surat-surat yang Anda minta. Tapi saya punya waktu. Saya akan memintanya ke Spanyol." "Selama itu saya akan menunggu," kata Mrs. Darnley. "Baik, Senora. Tapi hati-hati saja, selama menunggu. Cermin itu berbahaya." Pria berkebangsaan Spanyol itu meninggalkan ruang perpustakaan. Sesaat kemudian terdengar pintu depan dibuka, lalu ditutup kembali. Santora sudah pergi. "Ih, bukan main ceritanya tadi!" kata Pete terkesan. Ia kelihatan agak pucat. "Kisah seram, yang dikarang dengan baik," kata Jupiter Jones. "Ia pasti berbohong," kata Mrs. Darnley, dengan nada seperti hendak meyakinkan diri sendiri. "Tidak mungkin ia keturunan Chiavo, dan... dan mustahil ada orang bisa menghilang, masuk ke dalam cermin. Jika Santora itu sungguh-sungguh keturunan Chiavo, kenapa tidak dari semula langsung dikatakan begitu olehnya, ketika pertama kali datang kemari lebih dari seminggu yang lalu?" "Mungkin karena baru sekarang ingat untuk mengatakannya," kata Jupiter Jones. Bab 4 KELIHATANNYA ADA SESUATU YANG MISTERIUS SEBELUM meninggalkan rumah Mrs. Darnley, Jupiter Jones menyerahkan selembar kartu nama Trio Detektif pada wanita itu. "Nomor telepon kami tertera di baliknya," kata Jupe. "Kami akan senang sekali, jika bisa membantu Anda." Mrs. Darnley menerima kartu yang disodorkan itu dengan sikap nyaris linglung. Kartu itu dilipat dua olehnya. "Tidak mungkin ada orang bisa menghilang ke dalam cermin," katanya sekali lagi, seperti hendak memantapkan diri. "Pendapat saya juga begitu," kata Jupiter, "tapi menarik juga melihat dokumen-dokumen apa saja yang nanti bisa diketengahkan Senor Santora, untuk mendukung kebenaran ceritanya tadi." Mrs. Darnley mengangguk. Setelah itu Jupiter pergi bersama kedua rekannya, meninggalkan wanita itu di ruang depan gedung kediamannya yang besar dan suram, didampingi kedua cucunya. Mrs. Darnley nampak capek dan kuyu, dalam busananya yang bergaya kuno. Ia bukan lagi wanita tabah seperti yang tadi ditunjukkannya yang membanggakan koleksi cerminnya, dan yang mengkhayalkan dirinya adalah Marie Antoinette. "Aku seram berada di tempat itu tadi!" kata Pete, ketika pick-up yang mereka tumpangi sudah meluncur dijalan. Jupiter diam saja. Ia duduk bersandar ke sisi pick-up, sambil memeluk lutut. Matanya terpejam. "Ada apa, Jupe?" tanya Bob ingin tahu. "Aku tidak tahu pasti," kata Jupiter Jones. "Ada sesuatu yang dikatakan Santora tadi - sesuatu yang tidak beres." "Banyak hal tidak beres yang dikatakan olehnya!" tukas Pete. "Masa bodoh sihir macam apa saja yang dikenakan pada suatu cermin - aku tetap tidak mau percaya bahwa ada orang bisa masuk ke dalamnya, lalu tetap berada di situ! Lalu sekali-sekali muncul kembali, untuk menakut-nakuti orang hidup! Atau... atau begitulah - pokoknya, apa yang katanya tadi dilakukan oleh hantu itu." "Bukan yang itu maksudku," kata Jupe. "Menurutku, kisah Santora tadi bisa kita lupakan saja, karena kalau bukan legenda, pasti karangannya sendiri untuk menakut-nakuti Mrs. Darnley agar mau menyerahkan cermin itu." "Aku tahu maksudmu," kata Bob. "Itu kan tentang ia memerlukan waktu tiga puluh tahun dalam melacak jejak cermin. Itu tidak masuk akal. Orang yang menjadi penasihat kepala negara sebuah republik, tidak bisa dibilang menyembunyikan diri. Selama waktu itu cermin yang dicari-cari ada di tangan Manolos. Dan ia tentunya merupakan tokoh masyarakat." "Tentang Ruffino, tidak sering ada beritanya, kan?" kata Jupiter dengan nada bertanya. "Apa yang kalian ketahui tentang negara itu?" Kedua temannya membisu. "Negara kecil, yang tidak sering diberitakan. Jadi bisa saja memang diperlukan waktu selama itu, untuk melacak jejak cermin sampai ke sana. Tidak, bukan itu yang mengganggu pikiranku - tapi ucapan Santora mengenai diri tamu yang tak diundang tadi. Ucapannya itulah yang membuat aku sekarang berpikir-pikir. Coba saja kalian ingat - ia tadi kan mengatakan, 'Kita sama-sama tahu, satu orang - seorang laki-laki bertubuh kecil - takkan mungkin kuat membawa sendiri cermin Chiavo.' Padahal ia sendiri kan tidak melihat dan tidak ada yang mengatakan padanya bagaimana potongan orang itu. Walau begitu, dengan tepat dikatakan olehnya, bahwa orang itu bertubuh kecil." Bob mengeluh. "Aduh, kau ini! Ingatanmu seperti alat perekam saja. Tapi mungkin ia mengatakannya begitu saja, tanpa maksud tertentu. Siapa pun juga pasti akan kelihatan kecil, jika harus memotong cermin itu. Besarnya memang luar biasa! Atau menurut kau, Santora terlibat dalang peristiwa itu?" "Ia kelihatannya benar-benar kaget ketika mendengar ada orang masuk secara paksa," kata Jupiter menarik kesimpulan. "Ia juga nampak seperti ketakutan. Kejadian itu ada artinya bagi dia. Ia langsung menganggap bahwa minat tamu tak diundang itu terarah pada cermin, meski Mrs. Darnley tidak tegas-tegas mengatakan begitu padanya. Dan ketika itu barulah ia mengaku keturunan Chiavo - seolah-olah ia harus bertindak dengan cepat, mengajukan segala alasan yang bisa masuk akal, kenapa cermin itu harus dimiliki olehnya. Tidak, kurasa Santora tidak tahu apa-apa tentang tamu tak diundang itu sebelum Mrs. Darnley mengatakannya. Namun ada juga kemungkinan bahwa ia tahu siapa orang itu. Pokoknya aku lumayan yakin bahwa setelah ini kita masih akan mendengar apa-apa lagi tentang cermin itu." "Aku takkan keberatan kalau kita tidak mendengar apa-apa lagi mengenai cermin itu," kata Pete. Jupiter tersenyum. Kedua temannya sudah tahu pasti, apa makna senyuman itu. Jupiter mencium adanya suatu misteri, dan ia ingin mengusutnya. "Kita harus siap siaga," katanya. "Santora memerlukan waktu paling sedikit satu minggu untuk mendatangkan dokumen yang mana pun juga dari Spanyol. Dan jika saat itu tiba, kita harus sudah siap." "Apanya yang siap?" tanya Pete. "Informasi kita," kata Jupiter dengan gembira. "Kita perlu tahu lebih banyak tentang Ruffino. Kita perlu tahu tentang Chiavo. Dari keterangan Mrs. Darnley, orang itu mestinya ahli sulap yang termasyhur pada zamannya. Aku belum pernah mendengar apa-apa tentang dia. Kita harus segera mulai, dan apabila saatnya tiba kita harus sudah siap untuk bertindak." Taksiran Jupe tentang waktu yang tersedia, kemudian terbukti memang tepat. Hampir satu minggu setelah Trio Detektif berkunjung ke gedung kediaman Mrs. Darnley, Jeff Parkinson naik bis ke Rocky Beach. Menjelang sore, remaja berambut merah itu sampai di tempat penimbunan barang-barang bekas, yang dikenal dengan nama The Jones Salvage Yard. Saat itu Jupiter sedang berada di bengkelnya, yang terletak di luar. Ia sedang membetulkan kerusakan kecil pada sebuah mesin cetak tua yang dirakitnya dari berbagai rongsokan yang sudah tidak dipakai lagi. Ketika melihat Jeff muncul, ia menegakkan tubuhnya, lalu mengelap tangannya yang kotor dengan secarik kain. "Sudah ada kabar dari Senor Santora?" tanyanya. Jeff menggeleng, lalu duduk di kursi Jupiter yang bisa diputar. "Sedikit pun belum ada," jawabnya. Saat itu Pete datang. Ia mengenakan kemeja yang baru disetrika. Rambutnya kelihatan basah. "Hai!" sapanya, ketika melihat Jeff ada di situ. "Kau ada di sini?" "Bagaimana ombaknya tadi?" tanya Jupe padanya. "Terlalu hebat." Pete menarik sebuah kotak kayu ke dekatnya, lalu duduk di atasnya. "Alunnya benar-benar tinggi. Tiga kali aku terpelanting. Akhirnya kuputuskan, aku tidak kepingin leherku patah." Jeff tertawa mendengarnya. "Worthington pernah berkata, kau tidak menyukai kesulitan. 'Pete lebih suka menghindari gangguan yang tidak perlu,' begitulah katanya." Kini Pete yang tertawa. "Gangguan bukan kata yang tepat, jika kita ada di dekat Jupiter Jones. Hal-hal yang terjadi sebagai akibat, pemikiran anak ini benar-benar membuat bulu kuduk kita berdiri." "Jika hendak mengusut misteri, kadang-kadang ada perlunya mengambil risiko," kata Jupiter. Itu memang benar. Di salah satu pojok terpencil dalam kompleks perusahaan yang memperdagangkan barang-barang bekas itu ada sebuah karavan tua yang sudah rusak. Baik Paman Titus maupun Bibi Mathilda sudah tidak ingat lagi bahwa karavan itu ada di situ, karena letaknya terlindung di balik tumpukan barang rombengan. Di dalam kendaraan yang tidak bisa berjalan lagi itulah terletak kantor Trio Detektif. Kantor yang disebut Markas Besar itu dilengkapi dengan lemari arsip, pesawat telepon, laboratorium yang kecil tapi serba lengkap, dan kamar gelap tempat mencuci film. Ketika Jupiter, Pete, dan Bob baru mulai dengan usaha mereka selaku penyelidik, lemari arsip sebenarnya belum begitu diperlukan. Tapi kini kantor mereka dilengkapi dengan beberapa lemari berisi catatan Bob yang rapi mengenai kasus-kasus yang pernah mereka tangani. Segala catatan itu merupakan bukti hasil kegiatan mereka, yang bisa membuat iri detektif-detektif yang jauh lebih tua dari mereka. Semua catatan itu juga membuktikan bahwa mereka sering menghadapi bermacam-macam risiko. Jupe memang tidak segan-segan mengambil risiko. "Kurasa kau kemari ini karena hendak menyampaikan berita penting," kata Jupiter pada Jeff. "Kalau tentang penting tidaknya, aku tidak tahu pasti," jawab Jeff Parkinson. "Kalian masih ingat kan, cerita Santora tentang penyihir yang masuk ke dalam cermin, lalu pergi ke negeri hantu tanah?" "Ya - lalu kenapa?" kata Jupe. "Katamu tadi, selama ini tidak ada kabar apa-apa dari Santora. Kurasa ia pasti belum menyodorkan dokumen apa pun juga pada nenekmu, sebagai bukti pengakuannya bahwa ia keturunan Chiavo". "Memang belum," kata Jeff. "Jika ia bisa membuktikannya, cermin itu akan diserahkan padanya. Nenekku tidak berniat menganggap sepi hak orang, tapi ia juga tidak mau ditipu. Cermin itu takkan diserahkan olehnya, hanya karena Santora pintar mendongeng. Nah, kalian waktu itu kan sudah berjumpa dengan John." "John? John Chan, maksudmu? Pelayan nenekmu? Kenapa dia?" "Dia itu sebenarnya pembawaannya sangat tenang," kata Jeff. "Sudah beberapa tahun ia menjadi pelayan Nenek, dan selama itu satu kali pun belum pernah kulihat dia gugup karena alasan apa pun juga. Ia tidak peduli pada urusan orang lain. Ia sibuk dengan tugasnya, memasak. Dan kalau tidak sedang sibuk, ia berlatih main gitar. John pernah kuliah di universitas, di Harvard. Tapi macet di tengah jalan. Ayahnya ingin ia menjadi pengacara hukum, tapi minat John sebenarnya hanya pada gitar, dan musik klasik." "Lalu?" kata Pete. "Nah - John, yang tidak pernah gugup itu sekarang merasa seperti mendengar bunyi-bunyi - dan... dan mungkin aku juga." Jupe dan Pete menunggu. "Kemarin malam aku mendengar bunyi - yah, seperti ada orang tertawa. Aku bangun, lalu turun ke bawah. Pintu depan terkunci rapat, persis seperti keadaannya sewaktu kami semua pergi tidur. Kunyalakan lampu-lampu ruang duduk. Semua kelihatannya seperti biasa. Karenanya aku lantas pergi dari situ. Maksudku hendak tidur kembali. Nah, ketika itu timbul perasaan aneh dalam hatiku. Maksudku, seperti apabila kita melihat sesuatu yang nampak samar lewat sudut mata. Aku merasa seperti melihat ada orang masuk ke ruang perpustakaan. Atau bisa juga ada sesuatu yang bergerak di situ. Aku lantas masuk ke ruang perpustakaan, lalu kunyalakan lampu. Tapi tidak ada apa-apa dalam ruangan itu. Ketika aku kembali ke ruang depan, tahu-tahu John sudah ada di situ dengan mantel mandinya. Ia menggenggam pisau daging. Aku... kusangka ia sinting! Habis, air mukanya, begitu aneh. Ditambah lagi pisau panjang yang ada di tangannya. Aku ketakutan setengah mati ketika melihatnya seperti itu!" "Lalu?" kata Jupe. "Karena bingung, aku hanya bisa mengatakan, 'He!' Ia membalas, 'Ah, kau rupanya.' Kami berdua sama-sama berdiri di situ, saling berpandangan. Lalu kami sama-sama mendengar bunyi itu. Suara orang tertawa. Datangnya dari dalam ruang perpustakaan, di mana cermin Chiavo tergantung. John langsung melesat masuk ke dalam. Tapi tetap saja tidak ada siapa-siapa di situ. Yang ada cuma keempat dinding, buku-buku yang banyak - dan cermin itu." Pete mengusap-usap dagunya. "Maksudmu, kaurasa cermin itu mungkin berhantu?" tanyanya. "Entahlah, aku sendiri tidak tahu. Aku tidak percaya rumah Nenek ada hantunya, walau kata orang memang begitu. Jika dibilang perasaan kita tidak enak kalau ada di dalamnya, aku setuju. Tapi baik Nenek maupun John, begitu pula aku dan Jean - kami semua belum pernah mengalami kejadian aneh di situ. Aku dan Jean, setiap musim panas selalu datang dari Chicago, untuk menjenguk Nenek." "Rumah itu menarik," kata Jupiter Jones. "Aku pernah membaca beberapa artikel mengenai rumah itu. Drakestar, ahli sulap terkenal itu yang membangunnya, setelah ia tidak lagi tampil di pentas. Drakestar gemar mendalami hal-hal gaib. Ia biasa mengadakan pertunjukan di rumahnya itu, untuk sahabat-sahabatnya. Ia meninggal dunia dua belas tahun yang lalu, dan orang-orang yang kemudian membeli rumahnya mengatakan bahwa hantunya beberapa kali muncul di situ." "Orang-orang itu mendengar bunyi-bunyi yang tidak tentu asalnya, di malam hari," kata Jeff. "Tapi selama Nenek tinggal di sana - sudah sepuluh tahun - ia belum pernah mendengar apa-apa. Menurut pendapatnya, hanya perasaan orang-orang itu saja yang menyebabkan mereka merasa mendengar sesuatu. Tapi sekarang, John mendengarnya, dan aku juga. John tidak percaya pada hantu. Tapi ia tetap saja gugup karenanya. Katanya padaku, sekarang ia selalu membawa pisau kalau masuk ke tempat tidur, untuk berjaga-jaga. Aku dilarangnya mengatakan apa-apa tentang hal ini pada Nenek. Ia tidak ingin ketenangan Nenek terganggu. Tapi kurasa, nenekku juga mendengar bunyi-bunyi aneh." "Ia mengatakan apa-apa padamu?" tanya Pete. "Tidak. Tapi setelah bercakap-cakap sebentar dengan John, aku kembali ke kamar, lalu tidur lagi. Beberapa waktu kemudian, aku terbangun untuk kedua kalinya. Kudengar bunyi pintu kamar Nenek terbuka. Aku lantas menjenguk ke luar. Kulihat Nenek berdiri di ujung atas tangga, memandang ke bawah. Ia terkejut ketika kusapa. 'Ada apa?' tanyaku. Ia menjawab bahwa ia merasakan hembusan angin, lalu aku disuruhnya tidur lagi. Nah - nenekku itu, bukan kebiasaannya merasa terganggu oleh hembusan angin, atau hal-hal seperti itu. Karenanya kurasa ia pun mendengar sesuatu di bawah." "Bagaimana sikapnya saat itu? Ketakutan, barangkali?" tanya Jupiter Jones. "Aku tidak tahu. Nenek tidak mengatakan apa-apa. Tapi aku tahu bahwa sebelum itu aku mendengar sesuatu. Dan kurasa Nenek juga mendengarnya. Sebelumnya tidak pernah terjadi hal-hal aneh, jadi tidak mungkin itu hantu Drakestar, melainkan ada hubungannya dengan cermin Chiavo. Kalian kan detektif. Bisakah kalian mengadakan pengusutan, untuk memperoleh keterangan lebih banyak tentang cermin itu? Nenek tidak tahu banyak - hanya apa yang diceritakan temannya saja." "Janda Manolos?" tanya Jupiter. Jeff mengangguk. "Ketika Nenek masih gadis remaja, ia bersekolah di suatu perguruan yang ada asramanya. Di situ ia berkenalan dengan seorang gadis yang berasal dari Ruffino, sebuah negara pulau yang kecil, tidak jauh dari pesisir Amerika Selatan. Penduduk negara itu - tentu saja yang kaya - ada yang menyekolahkan anak-anak mereka ke Amerika Serikat. Setelah tamat, gadis teman Nenek itu pulang ke tanah airnya, dan kemudian ia menikah dengan Manolos. Nenek masih terus berhubungan dengan temannya itu - bahkan beberapa kali datang menjenguk ke Ruffino. Nenek tidak suka pada Manolos, yang menurut dia bukan orang baik. Manolos bersikap jahat terhadap istrinya, sahabat Nenek. Walau begitu kedudukannya semakin menanjak, dan akhirnya diangkat menjadi penasihat presiden negara itu. Ketika Manolos meninggal dunia sebulan yang lalu, istrinya, Senora Manolos, mengirimkan cermin itu sebagai hadiah pada Nenek. Kami tahu, cermin itu dibeli Manolos di Spanyol, dan menurut kata orang, Chiavo dulu menggunakannya untuk menghubungi trasgos, atau hantu-hantu tanah yang jelek-jelek itu. Tapi hanya itu saja sebenarnya yang kami ketahui." "Selama ini kami tidak tinggal diam," kata Jupiter menimpali, "dan mungkin tidak lama lagi akan lebih banyak yang bisa kami katakan tentang Chiavo serta cermin itu. Aku dan Bob beberapa hari ini sibuk mengumpulkan keterangan tentang orang itu. Di perpustakaan Rocky Beach, kami tidak menemukan apa-apa mengenai dirinya. Begitu pula di perpustakaan U.C.L.A.(University of California, Los Angeles) dan di perpustakaan besar di Los Angeles. Tadi pagi Bob pergi ke Universitas Ruxton. Di sana ada seorang guru besar antropologi. Namanya Dr. Barrister. Disamping guru besar, ia juga punya kegemaran mengumpulkan cerita tentang peristiwa-peristiwa gaib. Berkat pertolongannya, kami berhasil menyelesaikan suatu kejadian yang sangat misterius yang bertalian dengan ular kobra yang menyanyi. Mungkin ada yang diketahuinya mengenai Chiavo. Jika Bob sudah kembali..." "Aku sudah kembali." Tahu-tahu Bob sudah muncul di bengkel itu. Ia menyandarkan sepedanya ke pagar yang membatasi tempat itu. "Dan nampaknya, tepat pada waktunya, ya! Hai, Jeff." "Ada yang berhasil kauketahui?" kata Jupiter ingin tahu. "Itu sudah pasti! Universitas Ruxton benar-benar hebat. Teman kita yang dari jurusan antropologi itu pernah menulis beberapa makalah tentang cermin Chiavo. Menurut kisah-kisah lama tentang dirinya, Chiavo itu dianggap penyihir yang luar biasa kemampuannya. Dan cerminnya benar-benar ajaib. Legenda mengenai Chiavo juga mengatakan bahwa orang itu belum mati, melainkan tahu-tahu menghilang. Ia masuk ke dalam cermin, pergi ke tempat tinggal hantu-hantu tanah. Seperti yang dikatakan Senor Santora." Setelah itu mereka sama-sama membisu, merenungkan legenda tentang seorang penyihir zaman dulu yang dikatakan sampai sekarang masih hidup di dunia asing yang penghuninya bukan manusia. Tiba-tiba sinar matahari menghilang. Pete tergugah dari renungannya, lalu memandang langit. "Kurasa sebentar lagi akan ada badai," katanya, entah apa sebabnya, ia berbicara dengan suara berbisik. Tiba-tiba bola lampu yang tergantung di atas mesin cetak menyala berkedip-kedip. "Nah!" kata Jupiter Jones. Tangannya menggapai terali yang tersandar ke sebuah meja bengkel di dekat mesin cetak, lalu menyeretnya ke samping. Setelah itu ia menyusup masuk ke dalam sebuah pipa besar dari besi berombak, yang semula tertutup terali. "Ada apa...?" kata Jeff dengan heran. Bob menuding lampu yang sementara itu tidak berkedip-kedip lagi. "Itu tadi tanda bahwa ada yang menelepon ke markas. Jupe masuk lewat Lorong Dua, untuk menerimanya. Tahukah nenekmu bahwa kau ada di sini?" "Adikku tahu," kata Jeff. "Kalau begitu, mungkin dia yang menelepon. Yuk, ikut!" Sambil merangkak, Jeff mengikuti Bob dan Pete masuk ke dalam pipa besar itu, yang dilapisi potongan-potongan permadani. Di ujung pipa terdapat sebuah tingkap yang terpasang di lantai markas Trio Detektif. Ketika ketiga remaja menyusul masuk, mereka melihat Jupiter Jones berdiri di samping meja kantor, sambil mendekatkan gagang telepon ke telinga. "Kapan kejadiannya?" tanya Jupe pada orang yang menelepon. Jeff memandang berkeliling. Kantor di dalam karavan itu nampak sesak, tapi rapi. Kecuali meja, kursi-kursi, serta lemari-lemari arsip, Jeff melihat bahwa di situ juga ada sebuah mikroskop, dan semacam peralatan elektronik yang dibuat sendiri oleh Jupiter untuk keperluan penyelidikan. "Menurutku, keputusanmu tepat," kata Jupiter lewat telepon. "Kami akan bekerja sebaik mungkin! Sementara itu kunci semua pintu." Jupiter meletakkan gagang telepon. "Ada apa?" tanya Bob. Jupiter memandang Jeff, yang berdiri di belakang Bob. "Itu tadi adikmu," katanya. "Kira-kira lima belas menit yang lalu ia pulang dari berbelanja bersama nenek kalian. Keduanya langsung naik ke atas. Kemudian mereka mendengar suara orang tertawa di bawah, di ruang perpustakaan. Adik dan nenekmu dengan segera menuruni tangga, untuk memeriksa. Sampai di pertengahan tangga, ketika mereka memandang ke ruang perpustakaan, mereka melihat seseorang di dalam cermin. Orang itu pucat sekali wajahnya. Rambutnya putih dan panjang, sedang matanya hijau menyala." "Itu Chiavo!" kata Jeff. "Mrs. Darnley ingin agar diadakan pengusutan mengenai hal itu, dan Trio Detektif yang diminta melakukannya. Setengah jam lagi Worthington sudah akan sampai di sini, untuk menjemput kita!" Bab 5 PERINGATAN BERIKUT TIDAK sampai setengah jam kemudian, Worthington sudah sampai di kompleks perusahaan barang bekas itu. Begitu anak-anak sudah naik, dengan laju dipacunya Rolls-Royce antik berwarna hitam mengkilat itu kembali ke rumah Mrs. Darnley. "Mobil ini harus kukembalikan ke perusahaan," kata Worthington pada anak-anak, sambil mempersilakan mereka turun. "Setelah itu aku langsung pulang ke rumah. Telepon saja nanti, kalau memerlukan bantuanku." "Baiklah, terima kasih," kata Jupiter. Setelah itu ia, Bob, dan Pete, menyusul Jeff yang sementara itu sudah berjalan ke pintu depan. Sebelum bel sempat ditekan, Jean sudah datang membukakan. Mereka masuk beramai-ramai. Mrs. Darnley duduk di sebuah kursi kecil di ruang depan. Ia memandang ruang perpustakaan dengan wajah tegang. Air mukanya pucat. Wanita itu tetap duduk, ketika pintu depan dikunci kembali oleh Jean. "Aku tidak sanggup memaksa diri masuk ke sana," kata wanita itu, "tapi aku yakin tidak ada yang keluar." "Anda terus mengamati pintu itu, sejak Anda melihat sesuatu dalam cermin Chiavo itu?" tanya Jupe. "Mataku tak sekejappun lepas dari situ," kata Mrs. Darnley. Ia menyentuh rambutnya. Anak-anak melihat bahwa tangannya agak gemetar. "Setelah menelepon kalian, kuambilkan kursi untuk Nenek. Lalu kuperiksa semua pintu dan jendela," kata Jean. "Mana John?" tanya Pete. "Ini hari bebas tugas baginya," jawab Jeff. "Jadi rumah ini kosong sewaktu Anda pergi berbelanja tadi, Mrs. Darnley?" tanya Jupe. "Betul! Kosong, dan terkunci semuanya. Pintu-pintu dengan kunci gerendel, sedang jendela-jendela diamankan dengan palang. Tidak satu pun menampakkan bekas diutik-utik. Tidak ada yang bisa masuk kemari. Tidak seorang pun! Dan aku tahu pasti, semua pintu terkunci sewaktu kami berangkat tadi. John pergi bersama-sama dengan kami. Aku melihatnya mengunci pintu-pintu. Setelah itu semuanya diperiksa lagi oleh Jean, untuk memastikan bahwa tidak ada yang kelupaan." "Mungkinkah John kemudian kembali lagi, dan tidak begitu cermat ketika mengunci kembali?" kata Jupiter. "Itu tidak mungkin. Beberapa murid belajar gitar yang sekelas dengan John hari ini akan mengadakan konser di Ebell Club. John akan tampil sebagai pemain tunggal. Ia kami turunkan di sana, dalam perjalanan ke Westwood." Jupiter masuk ke ruang perpustakaan. Sesaat Mrs. Darnley kelihatan seperti sangsi. Tapi kemudian ia berdiri, lalu ikut masuk. Ruangan itu nyaris gelap pekat. Di luar cuaca sudah berubah menjadi gelap, lagi pula gorden-gorden tebal ditarik menutupi jendela-jendela. Jupiter melihat bayangan dirinya di dalam cermin. Dinyalakannya lampu duduk yang ada di atas sebuah meja. Setelah itu ia memandang berkeliling. Bob dan Pete menyusul masuk, sementara Jean berdiri dengan sikap sangsi di ambang pintu. Ruangan itu kelihatannya sama saja seperti seminggu sebelumnya. Tidak ada sesuatu yang berubah letak. "He, Jean," kata Jupiter, "di manakah kau tadi ketika melihat bayangan dalam cermin itu? Ingat tidak, di mana persisnya kau sedang berada saat itu?" "Tentu saja aku ingat." Jean memutar tubuh melangkah pergi, lalu menaiki tangga. Sekitar delapan jenjang lagi dari ujung atasnya, ia berhenti. Keningnya berkerut. "Di sini," serunya dari atas. "Aku tadi di sini, sedang Nenek satu atau dua jenjang di bawahku." "Baiklah. Tetap saja di situ sebentar." Jupe mundur ke sudut yang jauh di ruangan perpustakaan itu, sambil terus memandang ke cermin. Ketika ia sampai di tempat dari mana ia bisa melihat sosok tubuh Jean terbayang dalam cermin, ia berseru, "Kau bisa melihat aku?" "Ya, lewat cermin," balas Jean dari atas tangga. "Mungkin begitu kejadiannya tadi," kata Jupe pada Mrs. Darnley. "Jika ada orang berdiri di tempat saya sekarang ini. Anda berdua sewaktu menuruni tangga akan bisa melihat bayangannya - yang nampak seolah-olah berada di dalam cermin. Ruangan ini lumayan gelapnya, karena tirai-tirai ditutup semua. Anda tadi melihatnya dengan jelas?" Mrs. Darnley memejamkan mata, seakan-akan tidak ingin mengingatnya. "Jelas sekali," katanya. "Ia... yah, ia seakan-akan bersinar. Kemilau!" "Pintu rahasia!" seru Bob. "Pasti ada jalan yang tersembunyi untuk meninggalkan ruangan ini!" "Kecuali... kecuali jika tadi itu benar-benar hantu," kata Pete. Ia bergidik. Anak-anak mulai memeriksa, mencari-cari jalan rahasia yang mungkin ada. Pete dan Jeff melipat karpet, lalu meneliti lantai. Setiap celah dikorek-korek dengan pisau dapur. Bob dan Jupe memindahkan buku-buku dari rak-rak, lalu mengetuk-ngetuk dinding di belakangnya. "Kelihatannya sama sekali tidak ada rongga di belakang sini," kata Bob. Kening Jupe berkerut. Ia menuding dinding yang berseberangan dengan cermin. "Ada apa di balik ruangan ini?" tanyanya. "Tidak ada apa-apa," kata Mrs. Darnley. "Itu dinding sebelah luar. Di belakangnya terdapat lereng bukit yang naik ke atas. Sebagian dari dinding yang kautuding itu letaknya di bawah permukaan tanah. Itu sebabnya di situ tidak ada jendela sama sekali. Sama halnya dengan dinding di sebelah utara ruang duduk." "Hmm!" Jupiter menarik-narik bibir bawahnya, lalu kembali mengetuk-ngetuk dinding. "Tapi itu mustahil," katanya, berbicara pada diri sendiri. Semua yang ada di situ terkejut, ketika tiba-tiba terdengar deringan bel pintu depan. Jean bergegas keluar, untuk melihat siapa yang datang. Mrs. Darnley dan anak-anak di ruang perpustakaan mendengar anak itu agak repot membuka kunci-kunci yang mengamankan pintu. Setelah itu terdengar suaranya. "Ah - Anda rupanya." Hampir seketika itu juga Senor Santora masuk dengan terburu-buru ke ruang perpustakaan, diikuti oleh Jean yang nampak marah. "Saya tadi tidak mempersilakan Anda masuk!" tukasnya. Senor Santora memandang Jupe dan ketiga anak laki-laki lainnya yang ada di situ dengan tampang masam, lalu melirik sekilas ke arah karpet yang dibalikkan, serta tumpukan buku di lantai. "Ah!" kata pria Spanyol itu. Menurut perasaan Jupiter, orang itu mengatakannya dengan nada puas. "Ada perlu apa Anda kemari?" tanya Mrs. Darnley. "Saya datang untuk melihat apakah cermin saya masih aman di sini. Sementara ini saya masih menunggu dokumen-dokumen dari Spanyol. Tapi ada sesuatu yang terjadi di sini. Saya rasa, ada sesuatu yang membuat Anda sangat terkejut." "Tidak ada sesuatu pun yang terjadi di sini," kata Mrs. Darnley dengan suara datar. "Anda melihat sesuatu," kata pria Spanyol itu berkeras. "Saya rasa, Anda tadi melihat Chiavo. Sudahlah, jangan ditunda-tunda lagi, Senora - nanti terlambat! Melihat Chiavo, berarti peringatan. Lebih baik Anda berikan saja cermin itu pada saya." "Jika Anda bisa membuktikan bahwa Anda pemiliknya yang sah," kata Mrs. Darnley, "saya akan menyerahkannya pada Anda." "Terserah, kalau begitu." Ia mengeluarkan sebuah notes kecil, lalu menuliskan sesuatu di situ dengan pensil bergagang perak. Kemudian disobeknya halaman notes yang baru saja ditulisinya dan disodorkannya pada Mrs. Darnley. "Mungkin saja pikiran Anda nanti berubah," katanya. "Jika begitu, harap telepon saya di hotel. Saya menginap di Beverly Sunset - kalau Anda mungkin lupa. Itu nomor teleponnya." Ia membungkuk, lalu keluar lagi. Jean cepat-cepat mengunci pintu depan, begitu orang itu sudah pergi. "Ia tahu!" kata Mrs. Darnley. "Ia tahu kita tadi melihat bayangan itu dalam cermin. Bagaimana ia bisa tahu?" "Mungkin ia tahu, tapi bisa juga ia cuma menerka-nerka saja, Mrs. Darnley," kata Jupiter Jones. "Tapi yang jelas, ia pasti sadar bahwa ada sesuatu yang terjadi di sini. Karena kalau bukan begitu, untuk apa kita mengacak-acak ruangan ini?" Mrs. Darnley memandang sekilas ke arah kertas catatan yang ada di tangannya, di mana tertulis nomor telepon yang diberikan Santora. "Lumayan juga banyaknya sewa hotel yang harus dibayar Senor Santora, hanya karena menginginkan cerminku ini. Beverly Sunset bukan hotel murah. Temanku, Emily Stonehurst, dulu suka menginap di situ." "Saya rasa, saya tahu hotel itu," kata Jupe. "Tempatnya di bagian selatan Sunset Boulevard, kan? Sedikit ke barat dari Sunset Strip?" "Betul. Di pojok Sunset dan Rosewood." "Bob dan Pete," kata Jupe, "kata Worthington tadi, ia ada di rumah, jika kita memerlukan bantuannya. Coba tolong telepon dia sebentar. Minta tolong padanya untuk mengantarkan kalian berdua ke hotel itu, supaya kalian bisa mengamat-amati Senor Santora. Hotel itu, kecuali pintu masuk di depan, masih memiliki pula pintu untuk karyawan dan pelayan. Jadi perlu dua orang menjaga di sana." "Beres! Lega hatiku, bisa pergi dari sini," kata Pete cepat-cepat. "Kalau begitu kutelepon saja dulu ibuku, untuk mengatakan bahwa aku malam ini akan pulang agak lambat," kata Bob. "Lalu apa yang akan kaulakukan, Jupe, sementara kami mengamat-amati gerak-gerik Senor Santora?" Penyelidik remaja bertubuh gempal itu meraba-raba ukiran aneh yang menghiasi bingkai cermin misterius itu. "Pertama-tama aku akan mengembalikan buku-buku ini ke tempat semula, bersama Jeff," katanya. "Setelah itu kami menunggu. Aku ingin tahu apakah hantu Chiavo akan muncul lagi nanti, sementara kalian berdua mengamati Santora." Bab 6 PETE MENGHADANG BAHAYA DALAM perjalanan ke Beverly Hills, Bob, Pete, dan Worthington hanya mampir sebentar di sebuah kios, untuk makan hamburger. Ketika mereka sampai di depan hotel yang bernama Beverly Sunset, hari sudah senja. Awan mendung bertumpuk-tumpuk di langit, di sebelah utara perbukitan. Hotel yang mereka datangi itu sebuah bangunan bertingkat empat yang keren, terbuat dari batu bata. Satu blok penuh di Sunset Boulevard ditempati oleh bangunan itu sendiri. "Kelihatannya mahal," kata Pete. Worthington memarkir mobil Ford-nya di blok sebelah hotel itu, di seberang jalan raya. "Tempat itu memang populer," katanya. "Aku sudah beberapa kali mengantar tamu-tamu yang menginap di situ. Beverly Sunset bukan hotel biasa seperti yang lain-lainnya. Tidak banyak tamu dari luar kota menginap di situ. Di antara tamu-tamunya ada yang menetap di situ. Mereka itu orang-orang yang tidak ingin direpotkan segala urusan yang bertalian dengan pemilikan rumah." "Kurasa bisa dikatakan bahwa Senor Santora bukan orang yang kekurangan uang," kata Bob. "Itu dia!" kata Pete. Tanpa keluar dari mobil, mereka bertiga mengamati dengan cermat, sementara pria necis dari Spanyol itu keluar dari hotel. Ia berdiri sebentar sambil mendongak memandang awan mendung, serta mendengarkan bunyi guruh di kejauhan. Kemudian ia berpaling, lalu mulai berjalan ke arah yang berlawanan dengan tempat mobil Ford diparkir. Ia berjalan dengan santai menyusur trotoar, dengan tangan di saku. Kening Worthington berkerut. "Bagaimana ya - apakah aku nekat saja, memutar kembali di sini?" katanya. Sebagai sopir teladan, tidak enak perasaannya membayangkan kemungkinan harus melanggar peraturan lalu lintas. Sementara itu Senor Santora berhenti berjalan, lalu mengamat-amati jendela pajangan dari sebuah toko bunga. Kemudian meneruskan langkahnya lagi, berjalan santai sejauh beberapa ratus meter. Lalu berhenti lagi, memandang ke balik jendela pajangan sebuah toko alat-alat lukis. Kemudian masuk ke toko itu. "Kurasa ia tidak bermaksud ke mana-mana," kata Pete. "Mungkin ia cuma iseng saja, mengisi waktu luang." "He!" seru Bob tiba-tiba. "Lihat - itu, di sudut sana!" Seorang lelaki kurus berpakaian agak kusut berwarna hitam muncul dari balik tikungan yang ditunjuk Bob. Orang itu bergegas-gegas menuju pintu masuk ke hotel. ... dibuntuti, ia berhenti lalu berlutut, pura-pura membetulkan ikatan sepatu. "Sayang, Sir," kata pegawai hotel, "Senor Santora sedang keluar." "Kalau begitu saya tinggalkan saja pesan untuknya," kata lelaki berpakaian hitam itu. "Bolehkah saya minta kertas sedikit?" "Tentu saja, Sir." Pete berdiri lagi. Dilihatnya orang yang dibuntutinya itu sibuk menulis di meja penerimaan tamu. Pete memandang jam yang tergantung di dinding, di belakang meja itu, mencocokkan dengan arlojinya. Setelah itu ia pergi ke salah satu sofa dan duduk di situ, membelakangi meja penerimaan tamu. "Nah - nanti tolong berikan surat ini pada Senor Santora, ya," kata lelaki berpakaian hitam itu. "Baik," kata pegawai hotel yang bertugas di meja. Pete memalingkan kepala dengan berhati-hati, memandang ke arah meja penerimaan tamu. Lelaki kurus berpakaian hitam itu masih ada di sana, berdiri membelakangi Pete. Pete melihat pegawai hotel menyelipkan secarik kertas yang dilipat ke sebuah celah bernomor yang terdapat di belakang meja. Nomor celah itu 426. Kemudian pegawai itu membalikkan tubuh lagi, menghadapi tamu bertubuh kecil kurus itu sambil mengangkat alis, seolah-olah bertanya apakah masih ada urusan lain. "Surat itu sangat penting," kata lelaki kurus itu. "Saya akan berjaga-jaga - begitu Senor Santora datang, surat Anda akan langsung saya serahkan," kata pegawai hotel berjanji. Saat itu terdengar dering telepon di belakang meja. "Maaf," gumam pegawai hotel, lalu berpaling untuk mengangkat gagang telepon. Lelaki kurus itu pergi dengan diam-diam, menyelinap masuk ke sebuah lorong yang ada di balik suatu tikungan di mana ada papan penunjuk tempat lift. Sesaat kemudian Pete mendengar bunyi pintu lift tertutup, disusul dengungan lift yang mulai bergerak. Rupanya tamu Senor Santora tidak berniat mengandalkan diri pada janji pegawai hotel, bahwa pesannya akan disampaikan! Tapi dengan segera timbul dugaan dalam hati Pete, bahwa bisa saja pesan itu cuma siasat saja. Siasat agar pegawai hotel memasukkan sesuatu ke kotak surat tamu, sehingga dengan begitu bisa diketahui nomor kamar yang ditempati Santora. Hanya sesaat saja Pete sangsi. Ia berdiri, lalu berjalan dengan langkah lambat. Melewati meja penerimaan tamu, membelok, dan masuk ke lorong tempat lift. Ada dua lift di situ, serta tangga yang dibatasi dengan pintu pengaman yang terbuat dari baja tebal. Pete tertegun lagi. Otot-otot perutnya terasa mengejang. Tapi kemudian dibukanya pintu pengaman itu, lalu didakinya tangga dengan terburu-buru. Setiap langkahnya melewati dua jenjang sekaligus. Ketika sampai di lantai empat, dibukanya sedikit pintu pengaman yang ada di situ. Dengan perasaan gugup, ia mengintip ke dalam lorong yang ada di depannya. Lantai di situ ternyata juga dihampari karpet tebal dan mewah, seperti di ruang bawah. Pete melihat meja-meja kecil dan rendah berjejer-jejer pada jarak tertentu merapat ke dinding lorong, dengan jambangan bunga segar yang semarak di atasnya. Ia juga melihat pintu-pintu, berjejer-jejer di sepanjang lorong. Tapi lelaki kurus berpakaian hitam tadi tidak dilihatnya ada di situ. Pete memasuki lorong itu, lalu menyusurnya sampai ke pintu Kamar 426. Ia benar-benar bingung saat itu. Mungkinkah lelaki tadi masuk ke kamar Santora? Mungkinkah ia berniat hendak mencuri? Atau mungkin hendak menunggu di situ sampai Santora kembali? Pete tidak tahu apa yang harus diperbuat. Perlukah ia mencari bantuan? Pete memandang ke kanan dan ke kiri, di sepanjang lorong. Tidak ada pesawat telepon di situ. Yang ada cuma karpet tebal, meja-meja berhiaskan bunga-bunga yang ditata semarak, dan pintu. Pintu demi pintu, yang semuanya tertutup. Apakah sebaiknya ia lari saja ke bawah lagi, untuk memberi tahu pegawai hotel yang bertugas di meja penerimaan tamu? Sekali lagi Pete membayangkan apa yang mungkin akan dilakukan Jupiter pada saat seperti Itu. Akan larikah Jupiter, kembali ke lobi di bawah? Tidak, kata Pete dalam hati. Jupe akan tetap di situ untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Lelaki berpakaian hitam itu masih selalu bisa dibuntuti lagi, jika ia nanti ternyata pergi sebelum Santora kembali. Dan jika Santora sudah datang sebelum lelaki itu pergi - nah, kalau begitu mungkin nanti akan terjadi hal-hal menarik. Tapi Pete merasa bahwa ia tidak boleh terlalu lama di lorong itu. Jika salah satu pintu kamar terbuka -jika salah seorang tamu hotel muncul di lorong - orang itu pasti akan bertanya, kenapa ia ada di situ. Jadi ia harus meninggalkan lorong. Hampir tepat di seberang kamar Santora ada pintu yang tidak bernomor. Pete memutar tombol pintu itu. Ternyata tidak terkunci. Dibukanya pintu itu dengan cepat. Seketika itu juga bau lembab menghambur ke luar bercampur bau bahan pengilap. Ternyata itu bilik tempat penyimpanan bahan-bahan pembersih ruangan. "Mujur," kata Pete pada dirinya sendiri, lalu masuk ke dalam bilik kecil itu dengan berhati-hati, agar tidak menjatuhkan sapu-sapu atau alat pengepel yang disandarkan ke dinding, atau tersandung alat pengisap debu. Pintu ditutupnya kembali, tapi dibiarkannya terbuka secelah. Sambil bersandar ke sebuah rak tempat menaruh sabun serta bahan-bahan pengilap perabot, ia mengintip ke luar lewat celah yang dibiarkannya terbuka. Pete nyengir puas, karena ternyata bisa melihat pintu kamar Santora dengan cara begitu. Dan jika pintu itu dibuka, ia akan bisa melihat ke dalam kamar itu. Pete menunggu tanpa bergerak-gerak. Ia mendengar bunyi guntur di luar. Terdengar bunyi dengungan lift yang bergerak di ujung lorong. Sesaat kemudian bunyi itu berhenti. Pete mendengar bunyi pintu bergeser, disusul langkah samar di atas karpet empuk. Ada orang berjalan mendekat. Laki-laki, kalau ditilik dari bunyi langkahnya yang berat. Pete mendengar gumaman dalam bahasa Spanyol. Kemudian dilihatnya Senor Santora melintas di depan pintu bilik tempatnya mengintip. Orang Spanyol itu berhenti di depan Kamar 426, lalu menyelipkan anak kunci ke dalam lubang di pintu. Pintu bilik dibuka sedikit lebih lebar oleh Pete. Ia tidak ingin ada sesuatu yang terlepas dari pengamatan. Dengan kening berkerut, Santora memutar anak kunci yang dipegangnya sebanyak dua kali, lalu membuka pintu kamar. Setelah melangkah masuk, pintu ditutupnya kembali. Pete menyelinap keluar dari tempat persembunyiannya, menghampiri pintu Kamar 426. Maksudnya hendak menempelkan telinga ke situ, untuk mendengarkan pembicaraan yang mungkin terjadi di dalam. Tapi tahu-tahu didengarnya sesuatu yang menyebabkan ia kaget setengah mati. Ia mendengar bunyi pukulan, disusul bunyi orang yang roboh ke lantai! Pintu kamar Santora terbuka. Sekejap lamanya Pete bertatapan mata dengan lelaki yang berpakaian hitam. "Kau!" sergah orang itu, lalu bergerak dengan cepat untuk menerjang Pete. Pete mengelak. Gerak terjangnya yang cepat mengakibatkan orang itu terdorong melewati Pete, dan membentur dinding seberang. Pete mendapat kesan seolah-olah tubuh orang itu memantul kembali - begitu kerasnya benturan yang terjadi. Sebelum ia sempat berbuat apa-apa, lelaki itu sudah lari menuju tangga di ujung lorong. Pete melihat bahwa di tangan orang itu ada sesuatu yang kusut, berwarna putih. Pete melompat, menerjang tungkai lelaki itu. Berhasil! Lelaki itu jatuh terjerembab. Barang berwarna putih yang dipegangnya terpental. Orang itu menendang, meronta, dan akhirnya berhasil memukul ubun-ubun Pete dengan tangannya yang terkepal. Sesaat Pete pusing karena pukulan itu. Lelaki lawannya cepat-cepat bangkit, lalu lari. Terdengar pintu baja di depan tempat tangga terbanting dengan keras. Pete berhasil tegak kembali, dengan badan gemetar. Ia menyandar ke dinding lorong. Matanya berkunang-kunang. Ketika penglihatannya sudah biasa lagi, nampak olehnya barang putih yang tadi dibawa lelaki tak dikenal itu. Barang itu tergeletak di tepi karpet, dekat dinding. Pete memungutnya, nyaris tanpa berpikir lagi, lalu mengantunginya. Setelah itu ia kembali ke Kamar 426. Pintu kamar terpentang lebar. Pete melihat Senor Santora terkapar di lantai. Darah menetes dari belakang telinga ke leher, membasahi kerah kemejanya. "Astaga!" Pete bergegas menghampiri Santora, lalu berlutut di dekatnya. Jari-jarinya meraba pergelangan tangan orang itu untuk memeriksa apakah masih berdenyut. Ia menarik napas lega, ketika terasa denyutan di ujung jarinya. Santora tidak mati, walau mungkin cedera berat. Di atas meja ada pesawat telepon, di tengah kertas-kertas yang terserak ke luar dari sebuah aktentas yang terbuka. Pete mengangkat gagang telepon. "Ya?" terdengar suara ramah pegawai hotel yang melayani hubungan telepon. "Senor Santora mengalami cedera," kata Pete buru-buru. "Tolong panggilkan polisi dengan segera. Dan juga dokter!" Pegawai itu kaget setengah mati. Sebelum ia sempat mengatakan apa-apa, Pete sudah memutuskan hubungan. Dikembalikannya gagang telepon ke tempatnya. Dilangkahinya Santora yang terkapar di lantai, lalu lari ke luar, menuju tangga di ujung lorong. Sementara ia sedang menuruninya, didengarnya bunyi lift datang dari bawah. Pete sampai di lantai satu. Ia melangkah ke lorong. Ia memaksa diri berjalan dengan tenang, melintasi ruang depan hotel. Suasana di situ tetap kelihatan tenang. Tapi pegawai penerima tamu tidak ada di tempatnya. Pete meninggalkan hotel. Sementara itu di luar sudah gelap. Hujan sudah mulai turun. Bunyi guruh bergulung-gulung. Kilat sambar-menyambar di atas perbukitan. Pete berjalan bergegas-gegas, membungkuk untuk melindungi diri dari lecutan hujan. Ketika lampu lalu lintas di sudut jalan menyala hijau, ia lari ke mobil di mana Worthington dan Bob menunggu selama itu. Dengan cepat Pete membuka pintu, lalu meloncat masuk dan duduk di jok belakang. "Ada apa?" tanya Bob. "Kami tadi melihat Santora kembali ke hotel. Berjumpakah dia dengan lelaki itu?" Pete tidak langsung menjawab. Ia menekur, menatap kedua tangannya yang gemetar. "Ada apa sih?" tanya Bob sekali lagi. "Kau... kau tadi melihat penjahat itu keluar?" tanya Pete. Suaranya bergetar. "Tidak. Lho, bukannya ia masih di tempat Santora?" Pete menggeleng. "Lelaki kecil itu... kalau begitu ia pasti lari lewat pintu untuk pegawai," katanya. "Aku... aku sudah memberi tahu hotel." "Apakah yang terjadi di dalam, Pete?" tanya Worthington. Saat itu terdengar bunyi sirene mengaung-ngaung. Sebuah mobil polisi meluncur laju di tengah keramaian lalu lintas, lalu berhenti di depan hotel. "Maling itu berusaha membunuh Santora," kata Pete. "Setidak-tidaknya, orang Spanyol itu dipukulnya sampai pingsan. Setelah itu aku tidak lagi menunggu lama-lama di atas. Aku... aku tidak berani. Bayangkan bagaimana jadinya, jika aku ditemukan di kamar itu. Darah Santora mengucur!" Bab 7 HANTU DALAM CERMIN SETELAH Bob dan Pete pergi bersama Worthington dari tempat kediaman Mrs. Darnley, Jupiter Jones memeriksa semua jendela dan pintu gedung besar itu, untuk memastikan bahwa tidak ada yang tidak terkunci. Ia memeriksa dari kamar ke kamar, yang semuanya remang-remang. Dipaksanya dirinya bersikap tidak mengacuhkan perasaan bahwa ada yang bergerak-gerak di sekelilingnya - seolah-olah rumah tua itu hidup, berdenyut-denyut menyeramkan. Berulang kali ia harus meyakinkan dirinya sendiri bahwa kesan hidup itu disebabkan oleh cermin yang ada di mana-mana - dan yang bergerak-gerak itu bayangannya sendiri di dalam cermin-cermin itu. Akhirnya ia kembali ke ruang perpustakaan. Jupe memasang telinga. Didengarnya suara Jean dan Mrs. Darnley di dapur, di balik rumah. Terdengar dentingan piring-piring yang diletakkan ke meja. Terdengar bunyi pintu lemari pendingin ditutup, serta dengung kipas angin penyedot uap masakan yang terpasang di atas oven. Semuanya bunyi-bunyi yang biasa terdengar sehari-hari, bunyi yang sebenarnya membuat tenang perasaan. Tapi di rumah itu kedengarannya janggal, di mana ada seseorang - atau sesuatu - muncul dan menghilang dengan seenaknya. Dan itu terjadi di dalam gedung berdinding kokoh, sementara semua pintu dan jendela terkunci rapat, diamankan dengan gerendel, palang, dan terali besi. Guruh terdengar di kejauhan, di sebelah utara. Jupiter melihat bayangan muncul di cermin hantu. Tapi itu cuma Jeff, yang saat itu masuk ke ruang perpustakaan. "Malam ini hari cepat gelap," katanya. "Ya," kata Jupe, "kecuali jika hujan tidak jadi turun." Dari air muka Jeff nampak bahwa perasaannya sedang tegang. "Kusangka di California tidak pernah hujan kalau sedang musim panas," katanya. Terdengar jelas bahwa ia memaksa diri untuk berbicara tentang hal-hal yang biasa. "Memang jarang," kata Jupiter Jones. "Nenek sudah menyiapkan makan malam," kata Jeff lagi. "Kita nanti makan di dapur. Di sana sama sekali tidak ada cermin. Kurasa saat ini Nenek tidak ingin melihat cermin - cermin yang mana pun juga." Jupe mengangguk. Ia ikut dengan Jeff menyusur gang yang panjang, melewati koleksi cermin Mrs. Darnley yang digantungkan di dinding dengan penataan rapi, masuk ke dapur yang lapang dan terang. John Chan baru besok pagi pulang. Pintu yang menghubungkan dapur dengan garasi di luar dihalangi dengan sebuah bufet yang digeserkan ke situ. Ketika pulang dari berbelanja bersama Jean, Mrs. Darnley memakai gaun musim panas yang tipis. Tapi sementara itu ia sudah menukarnya dengan celana panjang dan kemeja. Busananya itu sederhana saja, tapi walau begitu masih saja nampak sangat mahal. Rambut Mrs. Darnley yang berwarna pirang keperakan disisir lurus ke belakang, dengan konde kedi di pangkal tengkuk. "Di sini kita takkan melihat hantu," katanya. Diletakkannya piring berisi hidangan telur aduk ke atas meja. "Sekarang kurasa aku boleh mengucap syukur, John dulu tidak mengizinkan aku memasang cermin di dapur." "Anda kan melihat bayangan aneh cuma di satu cermin saja," kata Jupe mengingatkan. "Dalam cermin Chiavo." Mrs. Darnley duduk. Saat itu ia nampak lesu dan tua. "Terkadang sekarang aku merasa seolah-olah semua cerminku berhantu," katanya. "Kalau aku sedang sendiri, jika kalian sedang tidak ada di sini, kadang-kadang aku merasa bahwa aku sendirilah hantu itu." Jupiter Jones merasa cemas. Jangan-jangan wanita itu sudah begitu dipengaruhi dunia cerminnya, sehingga mulai terlepas dari kehidupan yang sebenarnya! "Mrs. Darnley," kata Jupe dengan cepat, "sebelum kejadian yang sekarang, pernahkah Anda melihat hantu dalam salah satu cermin yang lain?" Mrs. Darnley menatapnya. Ia seolah-olah tergugah dari lamunan. Wanita itu tersenyum. "Tidak, Jupiter, selama ini belum pernah," jawabnya. "Tapi di dalam rumah ini aku begitu sering melihat diriku sendiri mondar-mandir, dan kurasa aku terlalu banyak berpikir tentang mereka-mereka itu - tentang orang-orang bernasib malang yang juga pernah mengaca dalam salah satu cermin-cermin itu. Namun demikian, sebelumnya aku tidak pernah sampai merasa melihat hantu dalam cermin." "Syukurlah, kalau begitu," kata Jupiter. "Jadi cuma ada satu cermin saja yang perlu diamat-amati - yaitu cermin peninggalan Chiavo. Mungkin cermin itu benar-benar berhantu, Mrs. Darnley atau ada jalan lain untuk masuk ke rumah ini yang tidak Anda ketahui. Atau bisa juga ada orang bersembunyi di sini, di suatu tempat yang tidak bisa kita temukan. Kemungkinannya cuma satu dari ketiga kemungkinan itu." "Ya, aku tahu," kata Mrs. Darnley sambil mengangguk. "Suara-suara yang mengganggu, yang terdengar selama seminggu ini, kejadiannya selalu malam-malam. Ya, kan?" tanya Jupiter meminta penegasan. "Betul," kata Mrs. Darnley. "Waktu pertama kali melihat hantu itu..." Jupiter terkejut. "Anda sudah pernah melihatnya sebelum hari ini?" "Ya, kemarin malam," kata Mrs. Darnley mengaku. "Saat itu sudah larut. Sangat larut. Aku mendengar Jeff dan John berkeliaran di bawah. Kemudian mereka masuk lagi ke kamar masing-masing. Tapi aku belum bisa tidur. Lalu beberapa waktu kemudian, kudengar ada orang berjalan di gang. Dengan segera aku bangun. Aku tahu, itu tidak mungkin Jeff - karena kalau ia yang keluar, aku pasti mendengar bunyi pintunya terbuka. Aku juga tahu, itu bukan John. Cara John berjalan, kukenal baik. Kukenakan mantel kamarku, lalu pergi ke serambi. Saat itu di situ tentu saja gelap. Tapi tidak terlalu pekat, hingga aku masih bisa melihat apa-apa. Tidak ada siapa-siapa di situ. Tapi kudengar bunyi cekikikan menyeramkan. Datangnya seperti dari ruang perpustakaan. Aku ke ujung atas tangga, lalu mulai menuruninya. Kemudian nampak apa yang kulihat siang tadi bersama Jean - wajah seseorang. Wajah menyeramkan, di dalam cermin." "Ruang perpustakaan siang tadi gelap, karena gorden tertutup semua," kata Jupiter. "Malam kemarin, tentunya lebih gelap lagi." "Gelap gulita," kata Mrs. Darnley. "Tapi walau begitu, aku melihat wajah itu." "Kenapa Nenek tidak mengatakan apa-apa waktu itu?" kata Jeff. "Aku kan ada di situ. Kenapa Nenek tidak mengatakan apa-apa padaku?" "Soalnya, aku tidak percaya pada hantu," kata Mrs. Darnley. "Jadi aku tidak mau mengatakan bahwa saat itu aku melihat hantu. Tapi tadi, ketika Jean juga melihatnya, aku terpaksa mengaku." "Baiklah," kata Jupiter. "Saran saya sekarang ini semua naik ke atas. Jangan menunggu-nunggu lagi, sekarang ini juga. Ada pesawat televisi di atas?" Mrs. Darnley mengangguk. "Bagus. Kita semua nonton TV." "Kita semua?" tanya Jean. "Tidak benar-benar begitu," kata Jupiter. "Nanti, setelah penerangan di serambi kita padamkan semua, aku akan duduk di tangga. Di tempat Anda tadi siang berdiri, Mrs. Darnley, ketika Anda dan Jean melihat bayangan itu. Mungkin jika rumah ini sudah sunyi, hantu Chiavo akan muncul kembali. Mungkin kita nanti akan tahu, dengan cara bagaimana bayangan itu muncul dalam cermin." Gagasan itu langsung disetujui. Begitu selesai makan, mereka pergi ke tingkat atas dengan suara ramai. Dengan suara yang sengaja dikeraskan, Mrs. Darnley menanyakan acara TV mana yang disukai Jupiter. Setelah Mrs. Darnley memadamkan lampu-lampu serambi di atas, Jupiter turun lagi lalu duduk di bagian tangga tempat Mrs. Darnley berdiri siang itu, menghadap ke pintu ruang perpustakaan yang terbuka. Selama sekitar setengah jam hanya bunyi badai yang kian mendekat saja, yang terdengar, sekali-sekali diselingi suara gelak tertawa yang keluar dari pesawat TV. Sekali-sekali nampak sambaran kilat. Guruh dan petir kadang-kadang terdengar dekat, lalu jauh, dan kemudian dekat lagi. Jupe menunggu dengan tegang. Kemudian didengarnya bunyi pelan di bawah. Bunyinya pelan sekali, sampai ia tidak yakin apakah benar-benar ada. Seolah-olah suara lolongan lembut, atau bisa juga deritan. Apakah itu bunyi kayu yang mengkerut karena penurunan suhu udara? Atau mungkinkah ada sesuatu yang bergerak? Buk! Jupiter terkejut. Kini ia tidak mungkin salah dengar. Bunyi berat itu terdengar jelas. Seolah-olah ada yang menjatuhkan sesuatu. Atau menghentakkan kaki. Jupe masih tetap tidak melihat apa-apa, kecuali bentuk ambang pintu ruang perpustakaan yang kelihatan hitam dalam kegelapan ruang depan. Di belakangnya tidak nampak apa-apa. Ada orang tertawa. Bulu tengkuk Jupiter meremang. Padahal ia tidak gampang takut. Suara tertawa itu tidak enak bunyinya, mengejek, nyaris seperti tertawa orang gila. Ada sinar kehijauan berkelip samar dalam ruang perpustakaan. Jupiter terkejap, karena tahu-tahu ia bisa melihat ke dalam ruangan itu, menatap ke dalam cermin jelek yang ada di sana. Ia menatap hantu itu! Sesaat lamanya Jupiter duduk seperti terpaku di tempatnya, karena kaget dan ngeri! Wajah dalam cermin menghilang lagi. Jupe menggosok-gosok matanya. Ia tidak bisa mempercayai penglihatannya. Wajah itu berambut kelabu kusut, tergerai ke samping seperti rumput laut yang basah. Wajah itu sendiri putih pucat, lebih putih daripada kapur, lebih pucat dari wajah orang mati. Tapi memancarkan sinar kemilau gaib. Sedang sepasang matanya - terbelalak, berwarna hijau mengkilat. Sepasang mata yang menatap dengan sinar mengejek! Pintu kamar televisi di ujung serambi atas terbuka. Sekali lagi Jupiter mendengar suara tertawa yang tadi, dan melihat sinar kehijauan serta wajah jelek di dalam cermin. Jupiter bergegas bangkit, lalu menuruni tangga dengan langkah tersaruk-saruk. Tiba-tiba wajah dalam cermin lenyap. Hanya kegelapan pekat saja yang tinggal. Suara tertawa mengejek berkumandang lagi, kali ini lebih samar, menghilang di kejauhan. Jupe lari memasuki ruang perpustakaan. Tangannya menggapai-gapai, mencari lampu. Begitu ditemukan, langsung dinyalakan olehnya. Ruang perpustakaan itu kosong. Tidak ada siapa-siapa di situ, kecuali Jupiter sendiri, serta bayangan wajahnya yang pucat pasi dalam cermin berhantu. Bab 8 MENGEJAR HANTU TAHU-TAHU bayangan Jeff Parkinson muncul dalam cermin, di samping bayangan Jupiter. "Kau melihatnya?" tanyanya. Jupiter mengangguk. Saat itu Jean dan Mrs. Darnley sudah datang pula. Mrs. Darnley memandang wajah Jupe yang pucat pasi, lalu tertawa. Tapi tidak benar-benar tertawa, karena bercampur desahan. "Seram, kan?" katanya. Jupiter menarik napas dalam-dalam. Ia menahan diri, jangan sampai tangannya gemetar. Ia membuka mulut, mengatakan dengan suara yang masih bisa dikendalikan sehingga tenang. "Sangat menyeramkan. Sekarang saya bisa mengerti, kenapa Anda tidak mau mengatakan ketika pertama kali melihatnya, Mrs. Darnley." Tapi setelah itu Jupiter memandang berkeliling. Diperhatikannya dinding-dinding ruangan, lalu cermin jelek itu. "Tapi ke mana perginya kemudian?" katanya dengan nada heran. "Mudah-mudahan kembali ke tempat asalnya," kata Jean. Ia bergidik. "Mungkin... mungkin saja cerita Senor Santora benar. Mungkin Chiavo benar-benar suka muncul di dalam cermin." "Tapi... tapi itu kan mustahil," kata Mrs. Darnley. "Orang kan tidak mungkin benar-benar ada di dalam cermin. Cermin itu kan cermin biasa-biasa saja. Kecuali bingkainya, tentu saja - yang jelek sekali. Menyeramkan!" "Memang." Jupiter menghampiri cermin itu, lalu meraba bingkainya. "Menakutkan, tapi tetap bingkai yang biasa pula. Dari baja mulus. Tanpa kawat terpasang padanya. Bingkai ini kokoh, tidak bisa diapa-apakan. Cermin itu biasa-biasa saja, kecuali keantikannya. Di dalamnya kita melihat bayangan seorang lelaki tua berwajah menakutkan. Tadi ada sesuatu di dalam ruangan ini. Harus ada, karena aku melihatnya!" Sementara itu badai sudah mencapai daerah perbukitan di situ. Amukannya seolah-olah menyuarakan protes cuaca atas munculnya sosok menakutkan di dalam cermin. Tetesan air besar-besar yang berjatuhan, dengan cepat sudah berganti deru hujan lebat. Sambaran kilat menyilaukan, disusul bunyi petir membahana, mengguncangkan seluruh rumah tua itu. Lampu berkelip-kelip, lalu padam. "Aduh, rupanya kabel listrik tersambar!" kata Mrs. Darnley. Jupiter Jones berdiri di dalam ruang perpustakaan yang gelap gulita. Sambil mendengarkan deru hujan di luar, matanya berkeliaran memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Tiba-tiba perhatiannya tertarik pada semacam sinar pendar kelabu kehijauan. Sinar itu seakan-akan mengambang, dekat sudut belakang ruangan itu. Didekatinya sinar misterius itu. Setelah dekat, diacungkannya tangan untuk menyentuhnya, Ternyata ia meraba tepi sebuah rak buku. Tapi teraba pula sesuatu yang lain - sesuatu yang terasa lengket. Ia memperhatikan tangannya yang dipakai untuk meraba. Ujung jari-jarinya kini juga bersinar pendar. "Kita memerlukan penerangan di sini," katanya. Jean dan Jeff pergi meninggalkan ruangan, Jupe mendengar mereka berjalan meraba-raba dalam rumah gelap itu. Kemudian muncul sinar. Sinar lembut, yang berasal dari lilin menyala. "Senter tidak bisa dipakai, karena baterainya sudah habis," kata Jeff. Diletakkannya sebatang lilin di atas sebuah meja, sedang satu lilin lagi dibawanya ke Jupiter. "Cuma inilah yang bisa kami temukan," katanya. Jupe memandang tangannya lagi. Sinar pendar kehijauan tadi tidak kelihatan lagi. Pada ujung jari-jarinya nampak debu lengket berwarna kelabu. "Apa itu?" tanya Jeff. Jupiter mencium bau debu lengket itu, lalu berpaling. Dipandangnya Jean dan Mrs. Darnley. "Ternyata kita berurusan dengan hantu yang memakai bahan perias!" katanya. "Bukan yang biasa, tapi yang bercahaya dalam gelap. Kurasa kita memerlukan beberapa batang lilin tambahan." Jean mengambilkan beberapa batang lilin lagi, lalu menyalakan semuanya. Jupiter meneliti bagian rak di mana ada bekas debu berwarna kelabu yang menempel. Dibersihkannya tangan dengan sapu tangan, lalu dipindahkannya buku-buku yang tersusun di atas rak itu. Kini ditatapnya dinding yang nampak di sebelah belakang. Ia mengetuk-ngetuk sambil menelengkan telinga ke arah dinding, lalu mengetuk-ngetuk lagi. "Kedengarannya tidak ada rongga di balik dinding ini," katanya kemudian. "Sulit dipercaya, tapi mestinya di sini ada pintu. Sedang ini dinding belakang rumah, yang menghadap ke luar. Jadi bisa saja ada pintu di sini, untuk keluar. Mungkin saja hantu kita itu bisa keluar-masuk dengan leluasa karena lewat pintu rahasia itu, walau segala pintu dan jendela di rumah ini terkunci rapat. Pasti ada jalan tersembunyi untuk keluar-masuk ruangan ini!" "Tapi rumah ini dibangun menempel ke lereng bukit," kata Mrs. Darnley. "Hanya tanah padat saja yang ada di balik dinding itu." "Bisa saja ada terowongan di situ," kata Jupiter Jones. "Tidak perlu besar lubangnya." "Atau bisa juga ada bilik di situ," kata Jean dengan suara gemetar, sambil menuding ke dinding. "Mungkin hantu... makhluk itu ada di situ mendengarkan percakapan kita." Tiba-tiba Jeff lari ke luar. Terdengar langkahnya bergegas-gegas menuju dapur, disusul bunyi laci-laci dan pintu-pintu lemari dibuka dan ditutup kembali. Akhirnya Jeff muncul lagi di ruang perpustakaan. Tangannya menggenggam alat pemukul dari kayu. "Aku tidak tahu, apa kegunaan pemukul ini bagi John," katanya, "tapi aku tahu sebagai apa benda ini kupakai, jika makhluk itu muncul keluar dari balik dinding." "Mungkin ia sekarang tidak ada di situ," kata Jupiter Jones. "Cuma ada satu jalan saja untuk mengetahuinya. Kita harus menemukan cara untuk membuka pintu, yang menurutku pasti ada di sini." Mrs. Darnley duduk di salah satu kursi yang ada di situ. "Hati-hati, Jupiter," katanya. "Saya selalu berhati-hati," kata Jupiter Jones. Pemeriksaan setelah itu dilakukannya dengan sistematis, seperti sudah menjadi kebiasaannya. Jean dan Jeff membantunya menurunkan buku-buku dari rak, lalu mereka ikut mendorong, mengorek, memutar, dan mengetuk-ngetuk. Selama beberapa waktu, pencarian itu kelihatannya akan sia-sia belaka. Dinding di balik rak buku itu mulus, sama sekali tidak ditemukan celah maupun sambungan di situ. Papan lis di sebelah bawah dinding tidak bisa digerakkan sama sekali, karena terpaku ke dinding. Sakelar-sakelar lampu ternyata memang perlengkapan untuk menyalakan lampu, lengkap dengan kawat-kawatnya yang kelihatan ketika Jupiter melepaskan pelat plastik yang menutupi. Tidak ada yang bisa diputar atau ditarik, walau sudah dicoba dengan berbagai cara. "Mestinya ada semacam kancing di sini," kata Jupiter setelah beberapa saat mencari-cari. "Harus ada semacam kancing, dan kancing itu harus ada pada dinding ini. Tapi di mana?" "Mungkin pintu itu hanya bisa dibuka dari sebelah sana," kata Jeff. "Tidak. Ingat, Drakestar ahli sulap itu yang membangun rumah ini. Bagaimanapun juga cara membuka pintu itu, Drakestar-lah yang menyuruh membuatnya. Nah - dia itu ahli sulap yang tergolong paling hebat. Dan keahliannya yang paling menakjubkan adalah menghilang dari pandangan penonton. Ketika ia sudah tidak mengadakan pertunjukan lagi, ia kadang-kadang mengundang orang-orang untuk makan malam di sini, lalu sesudah itu memperagakan keahliannya itu pada mereka. Malam ini hantu Chiavo menghilang dari ruangan ini. Pasti inilah ruangan di mana Drakestar mengadakan pertunjukan untuk teman-temannya. Itu berarti, ada salah satu cara tertentu untuk membuka pintu rahasia itu dari sebelah sini." Jupiter terdiam. Ditatapnya rak-rak buku selama beberapa saat. "Nah!" katanya kemudian, seolah-olah ditujukan pada diri sendiri. "Ada apa?" tanya Jean. "Jika segala cara yang kita coba selama ini ternyata tidak berhasil, maka satu-satunya kemungkinan yang benarlah yang belum kita coba. Rak-rak ini kelihatannya sangat kokoh buatannya. Apakah sudah ada di sini ketika Anda membeli rumah ini, Mrs. Darnley?" "Ya, karena memang merupakan bagian dari rumah." "Dan selalu penuh terisi buku. Nah -jika salah satu papannya kita tekan, tidak ada apa-apa yang terjadi. Tapi bagaimana jika ini yang kita lakukan -" Jupe meletakkan telapak tangannya di bawah papan rak di mana masih nampak bekas debu perias, lalu mendorongnya ke atas. Tidak terdengar bunyi apa-apa. Tapi ada hembusan angin yang nyaris tak terasa, tapi menyebabkan nyala lilin bergerak-gerak. Sebagian dari dinding di depan Jupiter bergerak maju, berikut rak yang terpasang di situ. Sesaat lamanya keempat orang yang ada di ruangan itu tegak terpaku di tempat masing-masing. Semuanya menatap lubang yang kini nampak di dinding. Tapi tidak ada makhluk menakutkan yang menerjang maju. Mereka hanya melihat semacam rongga, yang lebarnya setengah meter lebih sedikit. Di belakang rongga itu nampak blok-blok beton bersusun-susun. Pasti itulah dinding luar yang sebenarnya. Sementara menatap rongga sempit yang terjepit di antara dinding-dinding itu, Jupe merasa bahwa Jeff berdiri dekat sekali di belakangnya. Keduanya melihat tangga di balik sarang labah-labah dan debu yang menyelubungi. Tangga itu mengarah ke bawah, ke dalam gelap. "Lilin," kata Jupe. "Tolong ambilkan lilin." Jeff mengambilkan sebatang lilin yang menyala. Jupe masih berdiri sesaat, mengamat-amati bagian dinding yang membuka ke depan. "Pantas kedengarannya kokoh," katanya, "karena terbuat dari bahan seperti dinding biasa, tapi terpasang pada bingkai baja. Benar-benar hebat!" Jeff yang masih berdiri di belakang Jupe, memandang ke tangga yang mengarah ke tempat gelap di bawah. "Kau hendak masuk ke sana?" tanya anak itu dengan suara berbisik-bisik. "Jangan!" seru Mrs. Darnley. "Apa boleh buat, saya harus turun," kata Jupiter. "Saya paling tidak suka bekerja setengah-setengah." "Kalau begitu aku ikut!" kata Jeff. "Jangan, Jeff!" suara Mrs. Darnley melengking tinggi. "Hantu itu mungkin tidak ada lagi di bawah sana, Mrs. Darnley," kata Jupe menenangkan. "Mungkin ia sudah pergi." Jupe melangkahi papan lis yang masih ada di tempat semula, lalu mulai menuruni tangga. Jeff menyusul, sambil menggenggam palu kayunya erat-erat. Tangga tersembunyi itu curam. Diterangi nyala lilin yang bergerak-gerak dan setiap kali nyaris padam, nampak dinding berdebu dan berlumut di sisi kiri-kanannya. Tercium bau barang tua dan selalu lembab, bercampur hawa yang selalu terkungkung sehingga seakan-akan sudah mati. Tiba-tiba tangga membelok dengan tajam. Setelah tiga jenjang lagi yang juga curam, tangga itu berakhir di sebuah ruang bawah tanah yang kecil ukurannya. Sebuah bilik berdinding blok-blok beton, dan berlantai semen. Jupe mengangkat lilin yang dipegangnya tinggi-tinggi, sementara Jeff berdiri di sampingnya. "Tidak ada siapa-siapa!" kata Jeff dengan suara mendesah. "Tapi ia ada di sini tadi," kata Jupiter Jones lirih. "Kaulihat bagian lantai itu, di mana debu yang menutupinya berserakan?" Kedua remaja itu menyelinap, pergi dari kaki tangga. Jupiter menunjuk ke dua buah peti yang nampak sudah sangat usang. Ditempelkannya telunjuk ke bibir, melarang Jeff berbicara. Lilin diserahkannya pada anak itu, lalu ia sendiri membungkuk untuk memeriksa peti yang paling dekat. Peti itu tidak terkunci. Tidak ada gembok terpasang pada kancingnya. Jupiter menarik kancing itu ke atas. Tutup peti langsung terangkat, disertai bunyi deritan engsel yang sudah berkarat. Jeff mendekatkan lilin yang menyala. Mereka melihat kantung tidur yang nampak sering dipakai, begitu pula sejumlah botol dan guci, serta roti sandwich yang dibungkus dengan plastik. Jupiter menoleh, memandang Jeff. Mata Jeff terbuka lebar, dengan sikap bertanya. Sambil mengangkat alis, Jupiter menuding peti yang satu lagi, yang letaknya merapat ke dinding sebelah sana. Jeff mengangguk. Ya, hantu itu tinggal selama beberapa waktu di dalam bilik itu - dan kini pun mungkin masih ada di situ. Peti yang satu lagi nampaknya cukup besar. Jupiter melangkah ke arahnya, dengan berjingkat-jingkat. Jeff mengangkat lilin di tangannya sambil menggenggam palu kayu, sementara tangan Jupiter terulur ke tutup peti itu. Tahu-tahu tutup itu terbuka dengan cepat, dan terbanting membentur dinding di belakangnya. Terdengar suara jeritan, diiringi gerakan yang mengejut. Tahu-tahu Jupiter sudah menatap sepasang mata hijau berkilat-kilat. Sekejap kedua remaja yang sedang berada di bilik bawah tanah itu menatap wajah Chiavo. Muka penyihir itu benar-benar menakutkan. Kemudian sosok menyeramkan itu menerjang maju. Jupe terdorong ke belakang, menabrak Jeff. Lilin terpental, sementara kedua remaja itu roboh bertindihan. Sosok hantu berdiri di atas mereka, bersinar pendar dalam gelap. Napas Jeff tersentak. Palu kayu terlepas dari genggamannya. Jupiter menyambar jubah panjang yang dikenakan sosok itu. Jubah itu robek, ketika makhluk seram itu tiba-tiba lari ke arah tangga. Bunyi langkah berdebam-debam di tangga. Jupiter menggulingkan tubuhnya. Ada sesuatu tergenggam di tangannya. Sesuatu yang terasa lunak. Secarik kain. Ia bangun dengan segera, lalu menuju ke tangga sambil meraba-raba. Ketika sampai di kaki tangga, didengarnya suara Jean Parkinson berteriak. Saat itu ada kilat menyambar di luar. Sinarnya terpantul sampai ke bilik bawah tanah. Diterangi pantulan sinar itu, Jupiter bisa melihat sosok menyeramkan itu dengan jelas. Sosok jangkung dan kurus, berambut gondrong. Sosok itu berada di ujung atas tangga, di ambang pintu rahasia. Sekali lagi terdengar jeritan Jean. Jupe bergegas naik ke atas tangga, lalu memburu masuk ke ruang perpustakaan. Ia masih sempat melihat sosok aneh itu menarik gerendel pengunci pintu depan, membuka pintu itu lebar-lebar, lalu lari ke luar - masuk ke tengah hujan. Sambaran kilat saat itu menampakkan sosok kurus berambut kelabu tergerai. Petir melecut, dan sosok itu menghilang dalam kegelapan. "Ya, Tuhan!" seru Mrs. Darnley. Napas Jupiter memburu. Tapi ia tersenyum. "Hantu yang menarik," katanya. "Jubahnya tadi robek ketika ia melepaskan diri dari peganganku. Ini robekannya!" Bab 9 SURAT YANG MISTERIUS PUKUL delapan malam sudah lama berlalu ketika Bob dan Pete kembali ke tempat kediaman Mrs. Darnley diantar oleh Worthington. Jupe dan Jeff sibuk memeriksa isi kedua peti di bilik rahasia. Jean menjaga di pintu depan, sementara Mrs. Darnley berusaha menelepon. Maksudnya hendak memanggil polisi. Tapi tidak bisa tersambung. "Kami tadi hampir saja berhasil menangkap hantu Chiavo," kata Jean pada Bob dan Pete. "Ia ternyata mendekam di kolong rumah. Lihat saja sendiri tempatnya." Ia mendului masuk ke ruang perpustakaan. Pintu rahasia terpentang lebar. Jean berseru ke bawah, memanggil Jupiter dan Jeff. Keduanya naik ke atas. Mereka nampak jauh lebih dekil dan berdebu, dibandingkan dengan sorenya. Tapi Jupiter kelihatan riang. "Dari semula aku sudah tahu bahwa tidak mungkin itu hantu," katanya. "Ada orang bersembunyi dalam sebuah bilik rahasia, di bawah ruangan ini! Bagaimana caranya ia bisa masuk ke situ, aku tidak tahu. Selama mendekam di sana ia hanya makan makanan kaleng yang dingin, roti sandwich yang sudah basi, serta minum air dari botol. Ih! Kami juga menemukan kantung tidur yang sudah usang - dan sebuah cermin, senter, serta bahan perias yang membuatnya nampak kemilau dalam gelap." Mrs. Darnley datang dari ruang depan. "Aku tidak bisa menelepon polisi," katanya dengan kesal. "Badai rupanya juga memutuskan kabel-kabel telepon." "Kan tidak perlu buru-buru, Nek," kata Jean. "Orang menyeramkan tadi sudah lari, dan sekarang kita setidak-tidaknya tahu bahwa ia bukan Senor Santora, atau lelaki kurus yang waktu itu masuk dengan diam-diam kemari. Hantu yang lari tadi jauh lebih jangkung daripada mereka berdua." "Kapan... bagaimana hantu itu sampai bisa lari lewat pintu depan?" tanya Pete. "Kalian tidak berusaha menahannya?" "Sekitar dua puluh menit yang lalu," kata Jeff Parkinson. "Kami - aku dan Jupe, masih berusaha menahannya. Aku tadi membawa palu ini. Maksudku hendak menghajar kepalanya. Tapi... tapi ia muncul dari dalam peti di bawah sana tadi sambil menjerit... aku kehilangan akal." "Benar-benar menyeramkan deh," kata Jean menyela. "Dari semula aku sudah menduga bahwa mungkin akan ada sesuatu yang kelihatan menyeramkan muncul dari bilik itu. Kusangka aku sudah siap untuk menghadapinya. Tapi ketika ia tahu-tahu muncul di sini, aku menjerit. Hanya Jupe saja yang sempat berbuat sesuatu. Disambarnya jubah yang dipakai orang itu, sehingga robek. Besok ia akan menyelidiki, dari mana asal kain itu." "Bahannya lain dari yang lain," kata Jupe, sambil mengeluarkan sobekan jubah itu dari kantungnya. "Wol tebal, ditelusuri benang perak. Seperti bahan untuk busana teater. Sobekan ini mungkin bisa kita jadikan petunjuk penting, untuk mengetahui siapa hantu misterius kita itu. Dan kalian - apa yang bisa kalian laporkan?" "Santora sekarang ada di rumah sakit," kata Pete. "Sedang lelaki kecil kurus yang kita sangka orang suruhannya untuk membobol masuk kemari dan mencuri cermin itu, ternyata bukan kaki-tangannya." Dengan ringkas Pete melaporkan kejadian yang dialami di Hotel Beverly Sunset. "Setelah memukul kepala Santora, lelaki kecil itu lari menuruni tangga, dan mungkin keluar lewat pintu untuk pegawai. Worthington dan Bob yang menjaga di depan, tidak melihat orang itu keluar. Kami menunggu terus sampai ada ambulans datang. Santora dibawa pergi dengan kendaraan itu." "Jengkel rasanya pada diriku sendiri," kata Bob menyesali dirinya. "Aku sebetulnya harus menjaga di pintu pegawai, sementara Worthington yang mengamati pintu depan. Coba itu kulakukan - kami tadi pasti akan bisa membuntutinya. Atau paling kurang, mencatat nomor mobilnya." "Kami memang sangat teledor tadi," kata Worthington. "Tapi saya dan Robert menyangka bahwa orang itu bermaksud menemui Senor Santora. Karenanya kami merasa tidak perlu mengamati kepergiannya dari hotel. Apalagi setelah kami melihat Senor Santora pulang." "Tapi bukan kau saja yang menemukan sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk, Jupe," kata Pete. Dikeluarkannya kertas kusut yang dikantunginya. "Ini tadi terlepas dari tangan orang itu, di dalam gang. Tapi aku tidak bisa memahami arti tulisannya, karena bukan dalam bahasa Inggris. Tapi jika orang itu menginginkannya, maka mestinya penting artinya. Kelihatannya ini surat, dan nama Anda disebut di dalamnya, Mrs. Darnley." "O ya?" Mrs. Darnley cepat-cepat duduk. Tiba-tiba lampu menyala kembali. "Syukurlah," kata Mrs. Darnley. "Padamkan lilin-lilin itu, Jean! Jangan sampai ada kebakaran di sini. Nah - kita lihat saja apa yang tertulis di kertas yang dipungut Pete itu." Ia mengamati surat itu sekilas, lalu memandang berkeliling. "Ada di antara kalian yang mengerti bahasa Spanyol atau Portugis?" "Saya mengerti bahasa Spanyol meski hanya sedikit, Mrs. Darnley," kata Jupiter. Diambilnya kertas yang sudah berkerut-kerut itu, lalu dibacanya tulisannya. Keningnya berkerut, sementara tangannya menarik-narik bibir bawah. Begitulah kebiasaannya, jika sedang memusatkan perhatian. "Surat ini ditulis lima hari yang lalu," katanya sesudah beberapa saat menekuni, "dan ditujukan pada 'Rafael yang budiman'." "Kalau tidak salah, itu nama kecil Senor Santora," kata Mrs. Darnley. "Ia mengatakannya, ketika pertama kali datang kemari. Kecuali itu apa lagi?" "Pengirimnya hanya membubuhkan huruf-huruf depan namanya," kata Jupiter, "A.F.G. Sedang mengenai isinya, saya tidak bisa menerjemahkannya secara tepat. Tapi kurang-lebih begini bunyinya:" Rafael yang budiman, Menurutku, tindakanmu menceritakan riwayat cermin Chiavo pada Senora Darnley tidak salah, tapi agak lama juga waktu yang diperlukan untuk memperoleh dokumen-dokumen itu. Jika kau bisa membeli cermin itu dengan segera dan tanpa harus memperlihatkan dokumen-dokumen tersebut, itu lebih baik bagi kita. Juan Gomez membuatku sangat khawatir. Dia itu jahat, dan bisa berbahaya. Aku cemas memikirkan keselamatanmu, begitu pula Senora Darnley dan Republik Ruffino. Gomez tidak boleh sampai berhasil memperoleh rahasia cermin itu. Jika itu sampai terjadi, malanglah nasib kita. Aku mendapat informasi bahwa Juan Gomez punya beberapa orang sepupu di Los Angeles. Mereka tinggal di suatu tempat yang namanya Silverlake. Mungkin informasi ini ada gunanya bagimu. Mungkin saja ia tinggal di tempat sepupu-sepupunya itu. Usahakan mencari keterangan di mana ia tinggal. Kalau sudah kauketahui, amat-amati dia. Dan usahakan agar kau bisa memperoleh cermin itu. Jangan sampai jatuh ke tangannya. Mengenai dirimu sendiri, berhati-hatilah! Aku merasa diriku sudah tua sekarang. Pada posisiku yang tinggi ini, aku merasa kehilangan dirimu, serta dukunganmu. Aku selalu merasa segar kembali apabila melihat Ruffino lewat matamu, yang lebih muda dan teliti dibandingkan dengan mataku. A.F.G. Mrs. Darnley termangu, ketika Jupiter sudah selesai menerjemahkan isi surat itu, yang berlangsung lambat. "Sangat memilukan," kata wanita itu. "Surat itu rupanya ditulis oleh seseorang yang sudah tua dan kesepian." "Seseorang yang berkedudukan tinggi," kata Jupiter, "dan merasa cemas - cemas memikirkan keselamatan Santora, keselamatan Anda, dan juga Republik Ruffino. Mrs. Darnley - apakah mungkin Anda mengenal penulis surat ini? Teman Anda itu - Senora Manolos - mungkinkah ia mengenal seseorang, yang namanya berhuruf depan A.F.G.? Suaminya semasa hidup dulu kan berkedudukan tinggi di Ruffino!" Tapi Mrs. Darnley menggeleng. "Bertahun-tahun lamanya aku berhubungan lewat surat dengan Isabella Manolos," katanya, "sejak kami sama-sama masih murid sekolah. Tapi surat-surat kami hanya memberitakan hal-hal yang biasa saja - soal-soal sepele. Aku tidak suka pada orang yang dinikahinya, dan kurasa itu diketahui oleh Isabella." "Kalau Nenek tidak suka pada seseorang, semua akan ikut tahu," kata Jean. "Itu betul. Yah - aku kadang-kadang memang suka telanjur bicara. Aku memang tidak suka pada Diego Manolos. Aku tidak habis heran, apa sebabnya Isabella mau menikah dengan orang itu! Dan ketika Manolos kemudian menanjak karirnya dan menjadi orang penting dalam pemerintahan, aku semakin tidak suka padanya. Ia punya kebiasaan jelek. Tertawa nyengir, seakan-akan ia yang paling pintar di dunia ini. Oleh sebab itu sedikit sekali yang kuketahui tentang pemerintahan negara Ruffino, serta peran suami Isabella di dalamnya. Jadi aku tidak tahu, siapa penulis surat itu." "Adakah buku almanak dunia di rumah ini?" tanya Bob. "Buku almanak seperti itu biasanya banyak memuat informasi tentang negara-negara asing." Jean bangkit dengan cepat. "Aku punya," katanya. "Kubeli tahun lalu, ketika sedang keranjingan mengisi teka-teki silang." Buku almanak itu ditemukan, setelah agak lama mencari-cari di antara buku-buku yang terletak di lantai. Dengan cepat Bob meneliti indeks yang tertera di bagian belakang, lalu membalik-balik halaman sampai ke bagian yang memuat informasi tentang Republik Ruffino. Ternyata hanya setengah halaman saja keterangan mengenai republik pulau yang kecil itu. Hanya sekadarnya saja. "Negara ini menganut prinsip demokrasi," kata Bob, sambil membaca sepintas lalu. "Mirip dengan Amerika Serikat, cuma jauh lebih kecil. Badan penyusun undang-undang di sana senat, ditambah majelis rendah yang anggotanya tujuh puluh delapan orang. Dewan eksekutif bertugas selaku penasihat presiden...." "Sudahlah, jangan kauulur-ulur begitu," keluh Pete. "Dari tampangmu saja sudah kuketahui bahwa kau menemukan keterangan penting." Bob tertawa meringis. "Nama-nama para senator dan anggota majelis rendah tidak tertulis di sini," katanya dengan santai. "Tapi nama presiden mereka - nah, itu ada dalam almanak ini." "Ya - dan sekarang kausuruh aku menebak kepanjangan dari ketiga huruf singkatan nama itu," kata Pete dengan sinis. "Presiden Republik Ruffino, menurut almanak ini, bernama Alfredo Felipe Garcia," kata Bob melanjutkan. Semuanya terdiam selama beberapa saat. Akhirnya Jupiter berdiri, lalu mondar-mandir sambil menarik-narik bibir. "Jadi ia presiden republik itu," katanya. "Banyak hal yang bisa kita ketahui dari surat itu, walau pengirimnya bersikap sangat berhati-hati. Dari situ kita tahu bahwa kita harus waspada terhadap seseorang yang bernama Juan Gomez. Kurasa Juan Gomez ini lelaki kurus itu, dan ia lawan dari Santora. Kedua-duanya sama-sama menginginkan cermin Chiavo. Hari ini Santora mengalami cedera, diserang lelaki kurus itu. Kurasa Gomez itu memang berbahaya. Kecuali itu dalam surat juga dikatakan secara tidak langsung, bahwa Santora menghendaki cermin itu bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk seseorang yang berkedudukan tinggi di Ruffino. Perkara ini menyangkut sesuatu yang sangat penting - sesuatu yang ada hubungannya dengan cermin hantu itu. Kurasa kita boleh menarik kesimpulan bahwa Santora cuma mengarang-ngarang saja, tentang hubungannya dengan Chiavo. Jika ia berhasil mengajukan dokumen-dokumen yang katanya dari Spanyol, itu pasti merupakan pemalsuan. Aku bahkan sangsi apakah Santora benar-benar orang Spanyol. Menurutku, dia itu warga Ruffino." Mrs. Darnley menggeleng-geleng. "Kasihan Isabella Manolos," katanya. "Jika penulis surat itu benar-benar presiden Republik Ruffino, mungkin temanku itu saat ini terlibat dalam kesulitan. Kurasa itu perlu kita selidiki dulu, sebelum kita mungkin menyebabkan terjadinya kericuhan yang tidak menyenangkan." "Maksud Nenek?" kata Jean dengan nada bertanya. "Sebaiknya kita hubungi saja polisi, lalu kita laporkan semua yang terjadi selama ini," kata Mrs. Darnley. "Tapi itu malah mungkin menambah masalah." Ia memandang Jupiter, lalu menoleh ke arah Bob dan Pete. "Kalian kuminta menyelidiki cerminku yang berhantu," katanya. "Aku meminta kalian karena penghargaan Worthington terhadap kalian, dan juga karena aku berpendapat bahwa kaum muda kadang-kadang lebih pintar dari mereka yang lebih tua. Mereka belum begitu berpengalaman, dan karenanya tidak mempunyai prasangka apa pun juga. Mereka tahu, apa pun juga mungkin saja terjadi." "Betul," sela Worthington. "Saya mengerti, Mrs. Darnley," kata Jupiter Jones. "Saya yakin, kita semua sekarang sama-sama tahu bahwa cermin hantu itu tidak ada hantunya, tapi pasti menyimpan salah satu rahasia. Bagaimana - apakah sebaiknya kita coba saja mengusut, apa rahasia itu?" Pete mengeluh. "Aduh - sekarang sudah terlalu malam," katanya. "Lagi pula aku sudah capek sekali. Tapi... yah, baiklah. Kita coba saja. Mestinya ada sesuatu yang tersembunyi di situ. Di salah satu tempat, dan dengan salah satu cara." Jeff mengambil tangga aluminium dari dapur, serta beberapa perkakas. Dengan susah payah, dan dibantu oleh Worthington, anak-anak menurunkan cermin besar itu dari tempatnya tergantung di dinding. Jupiter melepaskan sekrup yang menempelkan panel kayu yang terpasang di sisi belakang bingkai baja. Ternyata di baliknya tidak ada apa-apa. Setelah itu ditelitinya bingkai baja senti demi senti. Juga tidak ada apa-apa, kecuali sosok-sosok mengerikan, yang menggambarkan makhluk-makhluk perut bumi, serta hantu tanah di sebelah atas, yang bermain-main dengan ular. Tidak ditemukan lubang atau celah, di mana bisa disembunyikan sesuatu. Yang ada hanya bingkai besar dan jelek itu sendiri, selanjutnya kaca cermin antik, serta panel belakang yang kelihatannya sudah beberapa kali dibetulkan. Sejumlah label yang sudah kelihatan dekil dan ditempelkan pada panel kayu, menerakan nama-nama beberapa tukang di Madrid dan Ruffino, yang pernah menangani cermin itu. Jupiter berjongkok, sambil memperhatikan cermin yang sudah dibongkar itu. "Ada apa pada cermin ini, yang penting artinya bagi presiden suatu republik?" katanya sambil merenung. Edit by: zhe (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net Bab 10 JUBAH PENYIHIR KEESOKAN harinya, pagi-pagi sekali Bob Andrews ikut ayahnya pergi ke Los Angeles. Di sana ia bermaksud meneliti edisi-edisi lama harian Los Angeles Times, untuk mencari berita-berita yang menyangkut Republik Ruffino. Juga tentang Drakestar, serta rumah ahli sulap itu, yang dibangunnya sendiri di perbukitan di atas kota Hollywood, dan yang sekarang didiami Mrs. Darnley. Sementara itu Jupe dan Pete pergi ke Hollywood. Mereka membonceng Konrad, yang harus mengantarkan sebuah meja makan antik ke rumah seorang pelanggan The Jones Salvage Yard. "Santora masih di rumah sakit," kata Jupe, sementara Konrad datang dengan pick-up. "Kemarin malam aku sibuk menelepon rumah sakit-rumah sakit yang ada di Beverly Hills - satu-satu, sampai akhirnya ketemu. Ia ada di Beverly Hills Medical Center. Tapi petugas yang kuhubungi di sana kemarin malam tidak mau memberi keterangan apa-apa, sedang ia sendiri tidak bisa dihubungi. Lalu pagi ini ketika aku menelepon ke sana lagi, mereka menanyakan apakah aku ingin bicara sendiri dengan Santora. Jadi keadaan orang itu mestinya tidak begitu parah." "Syukurlah," kata Pete. "Aku tidak tahu apakah dia itu orang baik atau orang jahat, tapi tentang orang yang memukulnya, aku tidak usah bingung-bingung lagi. Aku tahu, dia itu brengsek." "Juan Gomez," kata Jupe. "Nama orang itu Juan Gomez. Tadi aku sempat meneliti buku telepon. Kutemukan beberapa orang bernama Gomez yang bertempat tinggal di kawasan Silverlake. Tapi katakanlah Gomez memang tinggal di tempat sepupunya di sana, kita tetap tidak bisa memastikan apakah nama keluarga sepupunya itu juga Gomez. Dan apakah di rumahnya ada telepon. Tapi untuk hari ini, kita jangan memusingkan soal itu dulu." "Jadi apa yang akan kita kerjakan hari ini?" tanya Pete. Jupe mengeluarkan buku catatan dari kantungnya. "Sobekan jubah hantu gadungan itu kutunjukkan pada Bibi Mathilda," katanya. "Ia sependapat denganku, kainnya bukan kain biasa. Jadi kita sekarang akan mendatangi toko-toko di Hollywood, yang menjual atau menyewakan kostum pentas. Jubah yang dipakai hantu kita itu harus diperolehnya dari salah satu tempat - dan tempat mana lagi yang lebih masuk akal daripada toko seperti itu?" Sambil merengut, Pete memandang buku catatan yang ada di tangan Jupiter. "Kulihat kau sudah menyusun daftar," katanya. "Ada berapa toko kostum di Hollywood?" "Lumayan juga banyaknya," kata Jupiter. "Bisa pegal kakiku nanti," keluh Pete. "Kalau ingin berhasil dalam melakukan penyelidikan, kita perlu gigih," kata Jupiter Jones dengan nada mengecam. Pick-up yang dikemudikan Konrad keluar dari jalan raya bebas hambatan. Beberapa menit kemudian Konrad menghentikannya di sudut jalan antara Sunset dan Vine. Jupiter dan Pete turun. "Nanti perlu kujemput lagi?" tanya Konrad. "Tidak usah, kami pulang dengan bis saja," kata Jupiter. "Mungkin akan sepanjang hari kami di sini." "Awas, nanti diomeli Bibi Mathilda," kata Konrad mengingatkan. "Ia tidak suka jika hari Sabtu kalian tidak ada." "Tapi biasanya ia kemudian memaafkan kami," kata Jupe. Setelah itu Konrad pergi, sementara itu Jupe dan Pete memulai pencarian. Toko kostum pertama yang ada dalam daftar Jupiter berlokasi di Vine, dekat Fountain. Kedua penyelidik remaja itu memasuki sebuah bangunan besar, yang kelihatannya seperti gudang. Dekat pintu masuk ada semacam kantor kecil. Seorang lelaki dengan dagu berlipat-lipat dan kepala botak duduk di situ, sedang membalik-balik halaman sebuah majalah mode. Di belakang ruang kantor itu nampak banyak sekali kostum yang digantungkan pada rak-rak. Segala macam kostum ada di situ, dengan berbagai ukuran maupun warna. Si Botak mendongak, ketika mendengar langkah Jupe dan Pete yang menghampiri. "Ya?" katanya. Jupiter mengeluarkan kain sobekan jubah dari kantungnya. "Bibiku mencari bahan yang sama dengan ini," katanya. "Ia menyewa kostum, untuk dipakai ke pesta. Ia merobekkannya, dan sekarang harus dibetulkan dulu sebelum dikembalikan. Di toko-toko yang biasa, ia tidak berhasil menemukan bahan seperti ini. Barangkali Anda punya? Bisakah Anda membetulkannya?" Lelaki botak itu memegang kain itu, lalu meraba-rabanya dengan jempol dan telunjuk. "Hmmm!" katanya. "Bahannya dari wol. Dulu pabrik Dalton Mills memproduksi bahan seperti ini tapi kami tidak pernah memakainya." Dikembalikannya sobekan kain itu pada Jupiter. "Sayang!" katanya. Jupe dan Pete mengucapkan terima kasih, lalu pergi dari situ. "Sekarang pun aku rasanya mau menyerah saja," kata Pete. "Kita kan baru mulai," kata Jupiter. "Toko-toko yang menyewakan kostum, tidak pernah membuang barang-barang mereka. Semua dirawat baik-baik, dijahit kalau robek, dan disimpan sampai selama mungkin. Bukan soal apakah bahannya masih baru atau tidak." Di toko kedua yang didatangi kedua remaja itu, pemiliknya mengatakan belum pernah melihat bahan seperti yang ditunjukkan Jupiter. Begitu pula jawaban yang terdengar di toko ketiga, keempat, dan juga toko kelima. Waktu sudah hampir pukul sebelas ketika Pete dan Jupe tiba di sebuah gedung di Santa Monica Boulevard. Perusahaan berikut yang akan didatangi, Lancet Costume Company, berlokasi dalam gedung itu. Di dalam ada satu bagian tersendiri yang merupakan kantor. Seorang lelaki bertubuh gempal berdiri menyandar ke meja layan, sambil mengisap cerutu. Jupiter menyodorkan sobekan kain itu, seraya mengulangi dalihnya tentang kostum yang sobek. Lelaki gempal itu melepaskan cerutu yang terselip di antara bibirnya, sementara matanya dipelototkan. "Bilang pada Baldini, biar dia sendiri yang mengurus!" tukasnya. "Baldini?" kata Jupe mengulangi. "Jangan berlagak tolol," bentak orang itu. Diambilnya sobekan kain itu. "Hanya ini satu-satunya," katanya. Nada suaranya berubah, menjadi lebih lembut. "Dalton Mills dulu membuat bahan wol yang ditelusuri benang perak, tapi mutunya tidak sebaik ini. Ini khusus ditenun untuk Drakestar, ahli sulap itu." Jupiter merasakan jantungnya berdebar keras. "Salahku sendiri, mengizinkan Baldini yang payah itu menyewa jubah peninggalan Drakestar," kata orang yang menyewakan kostum itu. "Sekarang kalian berdua pergi ke rumah kos brengsek di Virginia dan suruh Baldini mengembalikan jubah itu. Aku bisa membetulkannya, tapi ia harus membayar untuk itu. Menambal dengan jalan menenun kembali, bukan tidak makan biaya. Sekarang pergi!" "Kain bibiku..." kata Jupiter. "Nak, ini bukan kain bibimu, dan kurasa kau sama sekali tidak punya bibi. Bilang pada Baldini, ia harus mengembalikan jubah itu. Kalau tidak akan kudatangi dia, lalu kuhajar!" Jupiter dan Pete keluar dari situ, dengan sikap seperti tidak ada apa-apa. Begitu sampai di luar keduanya terbahak-bahak. "Hebat! Jadi ada orang bernama Baldini menyewa jubah yang dulu kepunyaan Drakestar, lalu pura-pura menjadi hantu dalam cermin di rumah peninggalan tukang sulap itu! Aku sebenarnya berharap akan bisa menemukan toko kostum yang menyewakan jubah itu, dan dari situ bisa memperoleh petunjuk untuk mengetahui siapa sebenarnya hantu kita itu. Tapi ini benar-benar hebat! Hantu kita itu seorang artis!" "Dan ia tinggal di sebuah rumah kos brengsek di Virginia," kata Pete. "Tempat itu mestinya di dekat-dekat sini. Soalnya orang tadi mengatakan, jika Baldini tidak segera mengembalikan, ia akan menyusul ke sana." "Bagaimana - kita ke sana sekarang?" kata Jupiter mengajak. Keduanya berangkat dengan penuh semangat. Rumah yang dicari ternyata gampang ditemukan. Kebanyakan bangunan di Virginia Avenue merupakan rumah-rumah susun yang tergolong baru. Tapi di antara gedung-gedung itu masih ada sebuah bangunan tua, yang dulu merupakan rumah kediaman pribadi. Bangunan itu nampak kumal. Tapi rumput pekarangan depannya dipotong rapi, sedang dekat beranda ada petak-petak bunga. Pada sebuah papan yang terpasang di depan tertulis pengumuman bahwa di situ masih ada satu kamar kosong. "Sekarang bagaimana?" tanya Pete. "Apakah kita langsung menanyakan Baldini, untuk melihat apakah betul dia yang menyamar jadi hantu itu?" "Tapi jangan-jangan ia nanti mengenali aku. Kalau itu terjadi, payah!" kata Jupe. "Begini sajalah - kita pura-pura sedang melakukan penelitian untuk... yah, bilang saja pelajaran ilmu kemasyarakatan di sekolah. Kita tanyakan pada pengusaha rumah kos ini, tentang berapa orang yang tinggal di sini, dan apa saja pekerjaan mereka." "Baiklah," kata Pete, "tapi kau yang bertanya. Kau lebih cekatan dalam urusan seperti ini." "Ya, memang," kata Jupe. Dikeluarkannya buku catatan dari kantung. Ia menuju ke serambi, lalu membunyikan bel. Pintu rumah itu terbuka secelah. Seorang wanita dengan rambut beruban memandang ke luar. "Ya, ada apa?" kata wanita tua itu. "Maaf jika kami mengganggu," kata Jupiter Jones. "Kami sedang mengadakan penelitian, untuk keperluan pelajaran kami di sekolah." "He, sekarang kan musim panas," kata wanita itu. Tiba-tiba matanya menyipit, menunjukkan sikap curiga. "Sekolah-sekolah sedang libur." Jupiter memasang tampang sedih. "Tapi sayangnya, kami berdua tidak ikut libur. Kami tidak lulus ujian bulan Juni yang lalu. Untung masih diberi kesempatan. Jika proyek ini bisa kami selesaikan pada waktunya, kami bisa naik kelas." "Jadi ini penting sekali artinya bagi kami," kata Pete membumbui cerita itu. "Kalau begitu, baiklah." Wanita tua itu membuka pintu lebih lebar. "Kalian berdua kelihatannya anak baik-baik. Kalian ingin bertanya tentang apa?" "Pertama," kata Jupe, "berapa orang tinggal di sini?" "Enam - termasuk aku," kata wanita itu. Jupiter menuliskan jawaban itu dalam buku catatannya. "Penyewa kamar-kamar Anda semuanya menetap di sini?" tanya Jupe lagi. "Maksud saya, apakah mereka sering pindah?" "O tidak, mereka semua menetap di sini!" Wajah wanita tua itu menampakkan perasaan bangga. "Aku selalu mengusahakan agar tamu-tamuku hidup nyaman, dan karenanya mereka juga tidak pindah-pindah. Mr. Henley misalnya - ia sudah lima tahun tinggal di rumah ini." "Saya lihat ada kamar yang kosong saat ini." Jupiter menuding papan pengumuman. "Ya, kamar itu selama ini ditempati Mr. Baldini. Ia pindah kemarin malam. Dengan tiba-tiba saja! Tapi bekas orang teater kadang-kadang suka aneh wataknya. Ya, kan?" "Sebelum pindah, ia sudah lama tinggal di sini?" "Empat tahun," kata wanita pengusaha rumah kos itu. "Aneh, begitu saja pindah - tanpa memberi tahu sebelumnya. Ia bahkan tidak meninggalkan alamatnya yang baru, untuk tukang pos." "Ya, itu memang aneh," kata Jupiter, "tapi seperti Anda katakan tadi, orang teater memang suka aneh. Dia itu dulunya aktor?" "Tukang sulap," kata wanita itu. "Tapi itu dulu. Kini sudah jarang sekali mendapat pesanan main. Karenanya ia sekarang berjualan surat kabar. Kiosnya di sudut jalan antara Santa Monica dan Fountain." "Ah, begitu ya." Jupiter mengembalikan buku catatannya ke kantung. "Terima kasih banyak. Sekarang tinggal empat wawancara lagi yang harus kami lakukan, dan setelah itu kami selesai dengan proyek ini. Anda benar-benar baik hati." "Ah, ini kan bukan apa-apa," kata wanita itu. Pintu rumah ditutup kembali. Jupe dan Pete bergegas-gegas ke Santa Monica lagi, di sana mereka naik ke sebuah bis. "Kita perlu memastikannya," kata Jupe, "tapi kurasa jika kita nanti sampai di kios di Fountain itu, Baldini takkan ada di situ." Dugaannya ternyata tepat. Kios di pojok jalan antara Santa Monica dan Fountain itu tutup. Jendela pelayanan dan pintunya digembok. Di sekitarnya bergeletakan tumpukan surat kabar, yang diikat dengan kawat. "Ia bahkan tidak memberi tahu agen-agen yang dilangganinya terlebih dulu," kata Jupiter. "Baldini - hantu kita itu - menghilang!" Bab 11 PENCULIKAN LEPAS siang hari, Jupiter Jones dan Pete Crenshaw turun dari bis di Rocky Beach. "Kita jangan sampai terlihat oleh Bibi Mathilda," kata Jupe. "Ia tidak memperkirakan kita akan pulang selekas ini. Kalau sampai kelihatan olehnya, kita pasti akan disuruhnya bekerja. Aku ingin menelepon Bob, untuk menanyakan apa yang berhasil ditemukannya di Times. " "Jadi lewat Kelana Gerbang Merah?" kata Pete. "Kelana Gerbang Merah," kata Jupe menegaskan. Kedua remaja itu berjalan mengitar, menuju bagian belakang kompleks The Jones Salvage Yard, di mana sejumlah seniman kota Rocky Beach menghiasi pagar tempat penimbunan barang bekas itu dengan lukisan yang menarik, yang menggambarkan peristiwa kebakaran besar yang terjadi di San Francisco, tahun 1906. Di satu tempat ada gambar seekor anjing kecil yang sedang memandang ke arah api yang berkobar. Salah satu mata anjing itu berlubang, bekas mata kayu. Jupe merogoh ke dalam lewat lubang itu, menarik kancing yang terdapat di balik pagar, lalu mendorong papan-papan di tempat itu. Tiga lembar di antaranya terangkat ke atas. Itulah yang dinamakan Kelana Gerbang Merah. Jupe dan Pete melangkah ke dalam lewat lubang yang terjadi, lalu menyusuri lorong sempit dan tersembunyi di sela tumpukan barang-barang bekas, menuju ke markas. Ternyata Bob Andrews tidak perlu ditelepon lagi, karena sudah ada di situ. Remaja bertubuh langsing dan berkaca mata itu sedang sibuk mencatat, sementara di atas meja di depannya berserakan majalah dan buku-buku. Bob menoleh ketika Jupe dan Pete masuk ke dalam karavan lewat Pintu Empat - selembar panel yang dari luar tidak kelihatan, karena tersembunyi di belakang beberapa lembar papan tebal. "Cepat juga kalian sudah kembali," kata Bob. "Apa hasil penyelidikan kalian?" Jupiter duduk di kursi bersandaran lurus yang ada di depan meja dan berseberangan dengan Bob. Sedang Pete menarik kursi yang diambilnya dari bagian karavan yang dijadikan laboratorium. "Kami berhasil mengetahui bahwa hantu dalam cermin itu adalah seorang tukang sulap bernama Baldini, begitu pula bahwa orang itu kini menghilang." "Aku berani bertaruh, pasti Santora yang menyuruh Baldini beraksi untuk menakut-nakuti Mrs. Darnley, supaya akhirnya Nyonya itu mau menyerahkan cermin itu padanya," kata Pete menambahkan. "Ada kemungkinan kau keliru," kata Bob dengan tenang. "Kau menemukan sesuatu?" tanya Jupe. "Tentang Baldini?" Bob mengangguk. "Aku mencatatnya, hanya karena artikel itu menyebut-nyebut Ruffino." Ia membalik-balik halaman catatannya. "Di Times tadi aku meneliti mikrofilm edisi-edisi lama. Kucari semua yang menyangkut Ruffino, dan juga Drakestar. Aku tahu, hantu kita itu harus mengenal baik keadaan rumah ahli sihir itu. Karena kalau tidak, mana mungkin ia tahu tentang bilik rahasia itu. Semasa hidupnya Drakestar sering mengadakan pesta, dan ia juga suka jika ada wartawan yang hadir, karena dengan begitu namanya akan dimuat dalam surat kabar. Nah - suatu kali ia mengadakan pesta, untuk menyambut seorang pendatang baru. Seorang artis sulap yang waktu itu baru datang di Amerika Serikat, dari Pulau Ruffino." "Menarik," kata Jupiter. "Memang," kata Bob. "Resminya Drakestar waktu itu sudah pensiun, tapi masih suka mengadakan pertunjukan khusus untuk tamu-tamu di rumahnya. Dan ia suka memberi dukungan pada artis-artis sulap yang lebih muda, sejauh ia bisa melakukannya. Baldini salah satu dari artis-artis itu. Kurasa karir Baldini kemudian tidak bisa berkembang di sini. Tapi itu bukan salah Drakestar." "Jadi Baldini itu ternyata berasal dari Ruffino," kata Jupiter Jones. "Cermin berhantu juga datang dari sana, dan ada seseorang berkedudukan tinggi di negara itu yang menginginkannya, lalu mengutus Santora untuk berusaha memperolehnya. Kemudian masih ada pula lelaki kecil tapi berbahaya itu, yang mungkin bernama Juan Gomez. Mungkinkah Baldini punya alasan tersendiri, untuk memiliki cermin itu?" "Kurasa ia orang suruhan Santora," kata Pete berkeras. "Kurasa Santora juga berasal dari Ruffino. Ia mengenal Baldini, lalu menyewanya." "Atau bisa juga Baldini berusaha menakut-nakuti Mrs. Darnley, sampai ia mau menjual cermin itu," kata Jupiter sambil berpikir-pikir. "Atau mungkin pula ia bersekongkol dengan Gomez." "Jika Gomez begitu menginginkan cermin itu," kata Bob, "dan ia berkomplot dengan Baldini kenapa mereka tidak mencurinya saja, saat di rumah itu tidak ada orang? Mereka kan berdua, sedang dalam minggu ini beberapa kali rumah itu ditinggalkan kosong." "Tidak mungkin! Cermin itu terlalu berat," kata Pete. "Kita saja harus bertiga, ditambah dengan Jeff dan Worthington, barulah cermin itu bisa diturunkan dari gantungannya di dinding. Satu atau dua orang saja, takkan mungkin membawanya pergi. Tapi jika Baldini itu kelahiran Ruffino, ada kemungkinan ia masih punya teman di sana. Jadi ia mengetahui sesuatu tentang cermin itu. Mungkin saja ia bahkan tahu bahwa Senora Manolos mengirimkannya pada Mrs. Darnley." "Jadi dilepaskannya usahanya selaku penjual koran, lalu menjadi hantu cermin, dengan jubah peninggalan Drakestar yang disewa," kata Jupe. "Aku suka teka-teki yang berbelit-belit, tapi dalam kasus ini rasanya terlalu banyak orang yang terlibat. Cukup sekian saja tentang Baldini - setidak-tidaknya untuk hari ini. Apa yang berhasil kauketahui tentang Ruffino?" "Aku menemukan empat artikel surat kabar, ditambah sebuah buku tipis mengenai negeri itu," kata Bob. "Ruffino adalah negara pulau yang kecil. Penduduknya bercocok tanam tebu dan pisang. Iklimnya nyaman, dan tidak sering terjadi apa-apa di sana. Dulunya daerah jajahan Spanyol, sampai tahun 1872, saat mana terjadi revolusi." "Pasti banyak darah mengalir," kata Pete. "Tidak! Kejadiannya berlangsung dengan cukup damai," kata Bob. "Sekelompok pedagang dan kalangan politik yang berpengaruh berembuk, lalu memberi tahu gubernur Spanyol waktu itu bahwa ia tidak lagi disukai di pulau itu. Ia disuruh pulang, ke Madrid. Spanyol tidak menyatakan perang, dan orang-orang Ruffino kemudian membentuk pemerintahan mereka sendiri, yang coraknya mirip pemerintahan negara kita. Presiden yang sekarang, Alfredo Felipe Garcia, dengan yang ini sudah untuk kedua kalinya menjabat kedudukan itu. Menurut artikel yang dimuat di bagian belakang harian Times tiga bulan yang lalu, ia hendak mencalonkan diri lagi untuk ketiga kalinya, pada pemilihan umum yang akan diadakan musim dingin ini. Saingannya presiden yang lama - seseorang bernama Simon de Pelar. Ia dikalahkan oleh Garcia dalam pemilihan umum dua belas tahun yang lalu." "Kalau begitu masa jabatan presiden di sana enam tahun," kata Jupiter. "Betul, dan seorang presiden boleh mencalonkan diri kembali sebanyak ia mau, tanpa pembatasan. Kita tidak boleh terlalu percaya pada apa yang kita baca dalam buku-buku, tapi dalam buku mengenai sejarah Ruffino yang kutemukan, de Pelar buruk sekali namanya. Posisi-posisi di pemerintahan dijejalinya dengan konco-konconya. Pajak juga dinaikkan. Polisi dijadikan kaki-tangan untuk menerima uang suap dari penjahat, dan Garcia menuduhnya memalsukan dokumen-dokumen resmi, dengan tujuan memperkaya diri sendiri. Kampanye pemilihan umum waktu itu berlangsung kotor sekali. De Pelar menuduh Garcia, bahwa saingannya itu semasa mudanya pencuri kelas teri. De Pelar berani bersumpah bahwa ia bisa membuktikan kebenaran tuduhannya itu. Tapi kenyataannya, ia tidak bisa. Garcia akhirnya memenangkan pemilihan umum - dan jika apa yang tertulis dalam buku ini bisa dipercaya, itu merupakan hal yang patut disyukuri. Andaikan ia tidak menang waktu itu, ada kemungkinan revolusi pecah lagi, dan itu mungkin takkan berlangsung tanpa pertumpahan darah." Bob menyodorkan buku itu ke seberang meja, ke dekat Jupe dan Pete. "Itu ada foto Garcia, bersama para penasihatnya," katanya. Jupiter mengambil buku itu, lalu mengamat-amati foto yang ada di dalamnya. "Dari penampilannya di sini, Garcia kelihatannya orang yang pantas dijadikan andalan," katanya menarik kesimpulan. "Tapi di pihak lain, penampilan saja belum berarti apa-apa." Dibacanya teks yang tertera di bawah foto itu, untuk mengetahui yang mana Diego Manolos, almarhum suami teman Mrs. Darnley, Isabella. Ternyata orangnya jangkung, berkulit coklat, dengan mata agak terpicing. "Kalau menurut istilah Bibi Mathilda, matanya terlalu rapat," kata Jupe. "Mata Garcia?" tanya Bob dengan heran. "Bukan. Maksudku mata Diego Manolos." Tiba-tiba telepon di meja itu berdering, mengejutkan ketiga penyelidik remaja itu. Bob mengangkat gagangnya. "Ya?" katanya. Ia mendengarkan sebentar. "Kapan?" tanyanya. Lalu mendengarkan lagi. "Kami akan datang dengan segera," katanya. "Siapa itu?" tanya Jupiter Jones, ketika Bob sudah meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya. "Jean Parkinson," kata Bob. "Jeff tadi pagi meninggalkan rumah, hendak ke sebuah toko barang keperluan untuk hobi di Hollywood. Sampai sekarang ia belum pulang. Tapi ada sepucuk surat yang diselipkan dengan diam-diam ke dalam kotak pos di pintu. Jeff diculik orang! Jean meminta kita datang dengan segera ke sana. Ia tidak bisa menghubungi Worthington, jadi kita terpaksa naik taksi!" Bab 12 KE MANAKAH JEFF? KETIGA remaja itu naik taksi ke rumah Mrs. Darnley. Hampir pukul tiga, mereka tiba di sana. Mereka langsung masuk ke dalam. Mrs. Darnley mereka jumpai sedang mondar-mandir di ruang duduk yang luas. Jean duduk meringkuk di sebuah kursi. Sambil menarik-narik seberkas rambutnya sendiri, ditatapnya cermin-cermin di mana bayangan neneknya yang mondar-mandir terpantul berkali-kali. "Anda sudah menelepon polisi, Mrs. Darnley?" kata Jupiter begitu masuk. "Belum. Dan aku takkan melakukannya. Aku diperingatkan penculik itu, agar jangan menghubungi polisi." "Penculikan merupakan tindak kejahatan berat," kata Jupiter mengajukan alasan. "Dan polisi senantiasa berhati-hati. Mereka takkan melakukan sesuatu, yang bisa membahayakan keselamatan korban." "Aku takkan melakukan sesuatu yang memungkinkan mereka menyebabkan keselamatan Jeff terancam!" kata wanita itu dengan nada berteriak. Ia menyodorkan sampul surat yang sudah dibuka pada Jupiter. Remaja itu mengeluarkan surat yang hanya terdiri dari selembar kertas, lalu membaca isinya dengan cepat. Setelah itu ia membacakan untuk yang lain-lainnya: Mrs. Darnley, cucu Anda ada di tangan saya. Jangan meragukannya, dan jangan menelepon polisi. Cucu Anda sendiri yang akan menelepon Anda. Ia akan menelepon hari ini juga, untuk mengatakan apa yang harus Anda lakukan agar ia dibebaskan kembali. Saya harap Anda mau melakukan apa yang dikatakannya nanti. Saya bisa bertindak kejam, tapi jika itu saya lakukan, selalu karena ada alasan untuk berbuat begitu. Jupe meneliti kertas surat itu. "Kertas murahan," katanya, "bisa dibeli di mana saja. Tulisannya dengan huruf-huruf balok. Si penculik memakai bolpen. Dan menurut perkiraan saya, penulis surat ini bukan orang Amerika. Dan saya rasanya bisa menduga, apa yang nanti akan diminta sebagai tebusan." "Kita semua bisa memperkirakannya," kata Jean. "Cermin hantu itu." "Mereka boleh mengambilnya!" seru Mrs. Darnley. "Aku menyesal, kenapa pernah melihat barang jelek itu! Jika Santora jahat itu..." "Senor Santora saat ini terbaring di rumah sakit," kata Bob. "Eh... tepatnya, tadi pagi ia ada di rumah sakit." Tahu-tahu Jupiter berdiri dengan cepat. "Astaga!" serunya. "Betul juga, tadi pagi ia ada di rumah sakit, tapi mungkin kini sudah diperbolehkan keluar. Lebih baik kita periksa saja." Saat berikutnya ia sudah sibuk memutar nomor telepon rumah sakit tempat Santora dirawat. Ia berbicara sebentar dengan petugas telepon di ujung sana. "O, begitu. Terima kasih," katanya menutup pembicaraan. "Santora sudah keluar," katanya setelah itu pada Mrs. Darnley dan yang lain-lainnya. "Kapan Jeff tadi meninggalkan rumah?" "Pukul sebelas," kata Jean. "Mungkin juga setengah dua belas." "Kalau begitu bisa saja Santora yang menculik," kata Jupiter menyimpulkan. "Meski baru pukul setengah sebelas ia meninggalkan rumah sakit, ia masih tetap bisa melakukannya." Setelah itu Jupe menelepon lagi, menghubungi Hotel Beverly Sunset. Petugas telepon di situ menyambungkannya dengan kamar Santora. Ternyata orang itu sendiri yang menerima. Jupiter cepat-cepat memutuskan hubungan. "Jadi Santora ada di hotel itu," kata Bob. "Bagaimana jika aku ke sana, untuk mengamat-amatinya? Kalau Pete, jangan-jangan nanti di sana ada orang yang ingat, pernah melihatnya kemarin." Mrs. Darnley mengambil tasnya yang terletak di atas meja kecil. Dikeluarkannya uang beberapa lembar dari dalam dompet, lalu diberikannya pada Bob. "Kau pakai taksi saja," kata wanita itu. "Dan kalau sudah sampai di hotel, kau harus menelepon kemari." Bob menerima uang itu. "Baik, akan saya kerjakan. Dan jangan khawatir, saya takkan bisa sampai terlihat oleh Santora." Setelah Bob pergi, mereka yang masih tinggal dalam ruang duduk itu membisu. Keempat-empatnya termangu-mangu. Kening Jupiter berkerut. Pete mendatangi cermin demi cermin, diperhatikannya satu-satu. Gerak-geriknya saat itu, seolah-olah belum pernah melihat bayangannya sendiri dalam cermin. Pukul empat kurang seperempat, telepon berdering. Jean meloncat bangkit, serempak dengan Jupiter. Mrs. Darnley bergegas mendatangi meja tempat pesawat itu, lalu mendekatkan gagangnya ke mulut. "Ada apa?" katanya. Suaranya serak. Setelah mendengarkan sejenak, ia mengatakan, "Terima kasih," lalu menaruh gagang pesawat itu ke tempatnya. "Itu Bob?" tanya Jupiter Jones. "Betul. Ia mengatakan bahwa Santora sedang makan di restoran hotel. Bob mengamat-amati dari ruang depan. Katanya ia akan tetap di situ." "Jadi tentang itu sudah beres, untuk sementara ini," kata Jupiter Jones. "Coba kita bisa tahu, di mana lelaki kurus itu sekarang berada," kata Pete. "Begitu pula Baldini." "Baldini?" kata Jean mengulangi nama itu. "Siapa dia?" "Tukang sulap, yang berasal dari Ruffino," kata Jupiter menjelaskan. "Dia itulah hantu kalian." "Lagi-lagi orang dari negeri brengsek itu," keluh Mrs. Darnley. "Aku menyesal sekarang. Kenapa aku harus berurusan dengannya. Coba aku ini tidak pernah kenal dengan Isabella Manolos, pasti tidak mengalami musibah seperti sekarang ini!" Saat itu sekali lagi pesawat telepon berdering. "Pasti ini yang kita tunggu-tunggu!" kata Mrs. Darnley. Tiba-tiba sekujur tubuhnya gemetar. Telepon berdering lagi. "Anda yang menerima," kata Jupiter. "Saya akan ikut mendengarkan lewat pesawat sambungan yang di dapur." Ia bergegas ke dapur, di mana John Chan sedang mengelap perkakas makan. Sikapnya seperti biasa, tidak banyak bicara. Jupiter mengangkat gagang pesawat sambungan dari tempatnya di dekat oven. Ia melakukannya dengan sangat hati-hati, jangan sampai terdengar bunyi yang mencurigakan. "Aku baik-baik saja, Nek." Jupiter masih sempat mendengar Jeff mengatakannya. "Syukurlah!" "Aku tidak bisa mengatakan di mana aku sekarang ini," kata Jeff lagi. "Aku hanya disuruh mengatakan apa yang harus Nenek lakukan. Hanya itu saja. Oke?" "Baiklah. Katakan apa yang harus kulakukan. Nanti kukerjakan." "Di San Pedro ada sebuah gudang," kata Jeff. "Letaknya di Ocean Boulevard. Di depannya ada papan nama, dengan tulisan 'The Peckham Storage Company'. Tapi di dalamnya tidak ada apa-apa." "Jadi sebuah gudang kosong di Ocean Boulevard, San Pedro," kata Mrs. Darnley mengulangi. "Sebentar, kucatat dulu." "Cermin Chiavo harus diantar ke sana," kata Jeff lagi. "Panggil perusahaan ekspedisi, atau truk, atau siapa saja - suruh mereka mengambil cermin itu, untuk dibawa ke gudang tadi. Kalau sudah, mereka harus langsung pergi dari sana. Cermin itu harus disandarkan ke tiang yang ada di sebelah belakang gudang. Dan sesudah itu, mereka harus segera pergi. O ya, Nek -" "Apa, Jeff?" "Malam ini juga, pukul tujuh, cermin itu harus sudah ada di sana." "Baik," kata Mrs. Darnley. "Nanti sesudah itu beres, aku akan menelepon lagi," kata Jeff. "Kata orang itu aku tidak boleh menelepon Nenek lagi. Tapi baru jika cermin sudah ada padanya." Setelah itu sambungan diputuskan. Bab 13 BUNYI LONCENG MEMBUKA RAHASIA "SAAT sekarang ini, di mana aku bisa menghubungi orang yang punya truk?" keluh Mrs. Darnley. "Ini kan sudah pukul empat lewat! Bagaimana jika aku sampai tidak bisa mendapat truk?" "Akan saya hubungi paman saya," kata Jupiter. "Ia bisa kemari, bersama Hans dan Konrad. Anda tidak perlu cemas, Mrs. Darnley. Paman pasti mau. Cermin itu pukul tujuh nanti pasti akan sudah sampai ke San Pedro." "Aduh, terima kasih, Jupiter." Mrs. Darnley duduk di sofa. "Kalau begitu bagaimana jika sekarang ini juga kau menelepon pamanmu? Menurunkan cermin itu memakan waktu, dan kita tidak boleh sampai terlambat." Jupiter menghampiri pesawat telepon, lalu mengangkat gagangnya. Tapi ia tidak langsung memutar nomor untuk memperoleh sambungan. Ia menatap dinding sejenak, lalu tanpa mengatakan apa-apa mengembalikan gagang telepon ke tempatnya. "Kita terdesak waktu, Jupiter!" seru Mrs. Darnley. "Cepatlah - telepon pamanmu." "Sebentar," kata Jupe. "Ketika Jeff menelepon tadi, ada bunyi sesuatu yang terdengar. Sesuatu di latar belakang. Bunyi musik. Anda mendengarnya juga?" "Musik?" Mrs. Darnley nampak bingung. "Aku... aku hanya mendengar suara Jeff saja. Tapi kalau ada bunyi musik, lalu kenapa? Itu kan sama sekali tidak berarti apa-apa. Ayo, Jupiter, teleponlah pamanmu." "Lonceng-lonceng kecil," kata Jupe. "Bunyi lonceng-lonceng kecil, memainkan sebuah lagu. Mulanya saya tidak mendengarnya. Tapi kemudian terdengar jelas sekali, lalu menghilang kembali. Yang dimainkan lagu anak-anak, Mary Had a Little Lamb. " "Penjual es krim," kata Pete. Ia berdiri di depan perapian, tidak lagi berjalan dari cermin ke cermin. "Perusahaan Meadow Fresh Ice Cream menjual dagangan mereka dengan mobil keliling yang dilengkapi dengan musik lonceng. Lagu yang dimainkan selalu Mary Had a Little Lamb." Jupiter duduk di samping meja tempat telepon. "Mungkin itu bisa kita jadikan petunjuk," katanya. "Mungkin dari situ kita bisa tahu di mana Jeff disekap. Kurasa kita bisa memastikan bahwa ia tidak berada di San Pedro - atau setidak-tidaknya, bukan dalam gudang kosong itu. Penculiknya takkan mau mengambil risiko, menyekapnya di situ. Tadi ketika Jeff menelepon, waktu hampir tepat pukul empat. Jadi sekitar saat itu sebuah mobil perusahaan Meadow Fresh Ice Cream melewati tempat Jeff disekap. Lalu masih ada satu hal lagi." Jupiter memejamkan matanya. Ia memusatkan pikiran, berusaha mengingat-ingat segala hal yang bertalian dengan pembicaraan telepon tadi. "Bunyi berdentang," katanya setelah beberapa saat. "Ketika mobil es krim sudah lewat, terdengar bunyi dentangan. Nyaring kedengarannya - seperti suara lonceng alarm. Lalu terdengar pula semacam getaran." "Ingatanmu benar-benar luar biasa," kata Mrs. Darnley kagum. "Sedang aku, yang kudengar cuma suara Jeff saja." "Jupe memang terkenal karena ingatannya yang sempurna," kata Pete. "Tidak ada sesuatu pun yang terlepas dari ingatannya. Semua terekam dalam otaknya." "Mobil penjual es krim," kata Jupe, "lalu bunyi berdentang, teriring getaran. Lintasan kereta api! Itulah yang biasa terdengar di tempat kereta api melintasi jalan raya! Isyarat lampu berkelip-kelip serta deringan lonceng alarm, untuk memberi tahu mobil-mobil yang lewat bahwa ada kereta api datang. Dan getaran keras itu pasti kereta yang lewat. Di mana pun Jeff berada saat ia menelepon kemari, pukul empat tadi ada mobil es krim lewat di sana. Tempatnya dekat sekali dengan lintasan kereta api, di mana ada kereta lewat beberapa detik kemudian." "Mobil perusahaan itu pasti lusinan jumlahnya di kawasan Los Angeles," kata Jean. "Tapi lintasan kereta api, itu tidak banyak," kata Jupe. "Lagi pula, mobil-mobil itu kan punya rute yang sudah tetap. Mobil es krim perusahaan itu setiap hari datang di Rocky Beach sekitar pukul tiga siang. Waktunya tidak pernah meleset lebih dari dua puluh menit. Jika kita bisa menghubungi perusahaan itu..." "Tapi bagaimana jika yang kaudengar itu tadi bukan kereta api?" kata Mrs. Darnley. "Mungkin saja di tempat itu ada lonceng alarm, yang tahu-tahu berbunyi sendiri tanpa ada yang menyebabkan. Itu kan bisa saja! Dan kemudian ada truk lewat." "Tidak," kata Jupiter. "Kalau truk, dengan cepat sekali akan sudah lewat. Tapi bunyi bergetar keras itu berlanjut terus selama beberapa saat. Jadi pasti kereta api! Jika nasib kita sedang mujur, kita akan bisa sampai di tempat Jeff sebelum cermin diserahkan pada penculik." "Kau boleh saja mencobanya," kata Mrs. Darnley, "tapi aku tidak mau jika kau mempertaruhkan keselamatan cucuku. Ayolah, telepon pamanmu sekarang juga. Minta agar ia datang dengan mobil pengangkut." "Ya, tentu saja." Jupiter memutar nomor The Jones Salvage Yard. Didengarnya suara Bibi Mathilda menjawab di seberang. "Jupiter Jones! Di mana kau ini?" tukas Bibi Mathilda. "Apa saja yang kaulakukan selama ini? Pergi seharian! Kata Konrad tadi..." "Maaf, Bibi Mathilda, tapi aku tidak ada waktu untuk menjelaskan sekarang," kata Jupiter dengan cepat. "Tentang itu, nanti sajalah. Paman Titus ada, Bibi?" Bibi Mathilda diam saja. Jupiter membayangkan tampang bibinya saat itu. Pasti kesal. Cemberut! Tapi sesaat kemudian terdengar lagi suaranya, memanggil Paman Titus. "Aku sekarang di tempat Mrs. Darnley," kata Jupe pada pamannya. "Ia sedang dalam kesulitan besar, dan memerlukan pertolongan. Bisakah Paman kemari dengan segera, serta membawa salah satu truk kita? Dan ajak Hans dan Konrad! Cermin besar yang di ruang perpustakaan Mrs. Darnley harus diantarkan ke sebuah gudang di San Pedro sebelum pukul tujuh malam ini, dan cermin itu berat. Paman pasti memerlukan bantuan." "Kau sekarang sedang melakukan pengusutan lagi, Jupiter?" tanya Paman Titus. "Ya, dan aku tidak punya waktu untuk..." "Baiklah, aku segera datang," kata Paman Titus cepat-cepat. Sambil nyengir Jupiter mengucapkan terima kasih pada pamannya, lalu memutuskan hubungan. "Anda boleh merasa aman, cermin itu pasti akan sampai di sana pada waktunya," katanya pada Mrs. Darnley. Sementara itu Pete mengambil buku telepon kawasan Los Angeles yang disimpan di papan dasar sebuah rak buku. "Kantor pusat perusahaan es krim itu di Macy Street," katanya sambil membaca dalam buku itu, "dekat Union Depot. Di kawasan itu banyak sekali rel kereta api bersimpang siur. Mungkinkah Jeff disekap di sekitar situ?" Jupiter menggeleng. "Rasanya kemungkinan itu kecil sekali," katanya. "Di musim panas seperti sekarang ini, mobil-mobil perusahaan itu berkeliling terus di jalan-jalan, sampai jauh malam. Pukul empat sore, takkan mungkin ada yang di dekat kantor pusat. Semuanya pasti sedang berkeliaran di tempat-tempat pemukiman, di mana banyak anak-anak. Tapi di sana pasti ada pegawai yang mengatur rute mobil-mobil itu. Ia bisa kita tanyai." "Sebaiknya kaudatangi saja kantor itu," kata Mrs. Darnley. "Keterangan seperti yang kauingini itu takkan mereka berikan, jika kau bertanya lewat telepon. Nih!" Diambilnya lagi beberapa lembar uang kertas dari tasnya, lalu diserahkan pada Jupiter. "Coba kaukorek keterangan dari perusahaan es krim itu. Aku menunggu pamanmu di sini, untuk mengatur agar cermin itu segera dibawa pergi. Tapi hati-hati, ya! Bagiku, cermin hantu itu tidak berarti apa-apa lagi. Aku hanya menginginkan Jeff kembali dengan selamat." "Saya akan berhati-hati," kata Jupiter berjanji. "Aku ikut," kata Pete. "Siapa tahu, barangkali saja nanti kita perlu memencar." Mrs. Darnley hanya mengangguk saja. "Aku juga ikut," kata Jean Parkinson. Kini Mrs. Darnley tidak mengangguk. "Jangan!" katanya. "Aku tidak mau dua cucuku terancam keselamatannya. Kau tidak boleh pergi meninggalkan rumah ini, sebelum Jeff kembali!" Bab 14 UPAYA PENYELAMATAN PERUSAHAAN Meadow Fresh Ice Cream Company menempati sebuah bangunan rendah tapi panjang, yang dikelilingi pelataran gersang beralas kerakah Tidak nampak satu pun mobil es krim di situ, ketika taksi yang ditumpangi Jupe dan Pete melintasi tempat parkir, menuju bagian pabrik tempat memuat es krim ke mobil-mobil pengedar. "Aku tidak mengerti, apa yang kalian cari di sini," kata pengemudi taksi. "Di sini kan tidak dijual es krim. Kalau mau membelinya, harus dari mobil pengedar." "Kami hendak memesan untuk pesta," kata Jupiter mengajukan dalih. Taksi dihentikan di samping tempat pemuatan. Jupiter mengeluarkan uang yang diperolehnya dari Mrs. Darnley, lalu menyodorkan lembaran sepuluh dolar pada pengemudi taksi. "Nih, pegang dulu. Tunggu kami di sini," katanya. Setelah itu ia keluar bersama Pete, lalu naik ke landasan tempat memuat es krim. Dibukanya satu dari sepasang pintu yang ada di situ, lalu masuk ke sebuah ruangan yang mestinya kantor perusahaan itu. Hanya seorang lelaki agak berumur saja, dengan kaca mata berlensa tebal, yang ada di situ. Orang itu sedang sibuk mencatat pada selembar kertas lebar dan bergaris-garis yang terbentang di depannya, sementara tangannya yang satu lagi mendekatkan gagang telepon ke telinga. "Oke, Flannery," katanya pada orang yang ada di seberang sambungan. "Kau agak terlambat dari jadwal. Tapi biarlah, itu tidak apa-apa. Nanti jangan lewat di depan stadion sebelum pukul delapan. Malam ini ada pertandingan di sana. Jangan sampai terjebak dalam kemacetan lalu lintas." Orang itu meletakkan gagang telepon, melepaskan kaca mata, lalu memandang Pete dan Jupe dengan mata terpicing. "Ya - kalian ada perlu apa?" katanya. Jupiter Jones menuding peta kota Los Angeles berukuran besar, yang tergantung di dinding di belakang lelaki itu. Peta itu dicetak dalam warna hitam dan putih, ditambah garis-garis berwarna merah, biru, hijau, kuning, ungu, dan coklat. Garis-garis itu berpangkal dari kawasan Macy Street, dan memencar ke segala penjuru kota. "Garis-garis berwarna itu mestinya rute mobil-mobil pengedar es krim Anda," kata Jupiter. "Betul," kata lelaki tua itu. "Lalu kenapa?" "Para pengemudinya menghubungi Anda dari berbagai posisi sepanjang rute mereka?" tanya Jupiter. "Itu sudah jelas," kata orang itu. "Kami selalu harus tahu di mana posisi mereka. Jika selama beberapa waktu tidak ada kabar, kami langsung menelepon polisi. Soalnya, sudah beberapa kali mobil kami dirampok. Kenapa kau menanyakannya?" "Kami perlu sekali mengetahui pengemudi mana yang pukul empat siang ini melewati lintasan kereta api, saat lonceng alarm berbunyi di situ." Saat itu telepon yang terletak di atas meja berbunyi. "Harap jangan jawab dulu," kata Jupiter. Ia mengatakannya dengan tenang, tapi serius. "Biarkan saja berdering sebentar. Urusan kami penting sekali." Lelaki itu mengangkat gagang telepon. "Meadow Fresh," katanya, lalu menyambung, "Oke, Guilberti - tunggu sebentar, ya? Ada urusan sedikit di sini." Diletakkannya gagang telepon ke meja. "Tapi cepat sedikit," katanya pada Jupe. "Ada apa? Salah seorang penjual kami kurang mengembalikan kelebihan uang yang kaubayarkan padanya?" "Saya tidak punya waktu untuk menjelaskan persoalannya," kata Jupiter. "Tolong saja katakan, mobil Anda yang mana yang kemungkinannya sedang lewat di salah satu lintasan kereta api, sekitar pukul empat..." "Keterangan Anda mungkin bisa menyelamatkan nyawa seseorang," sela Pete dengan tiba-tiba. Lelaki tua itu terkejut. Nampaknya ia terkesan melihat wajah Pete dan Jupiter yang begitu serius. Telunjuknya bergerak, menelusuri catatan yang tertera pada lembaran kertas di depannya. "Alberts melintasi rel kereta Santa Fe di LaBrea," katanya, "tapi itu sebelum pukul tiga. Jadi tidak mungkin dia. Sebentar, sebentar. Ya! Ya, mestinya itu Charlie Swanson. Kalau melihat rutenya, ia melewati lintasan di Hamilton." Lelaki itu berdiri, lalu menunjuk ke sebuah titik pada peta besar di belakangnya. Posisi yang ditudingnya itu terletak di lembah San Fernando. "Pukul empat lewat sepuluh menit tadi ia menelepon dari pompa bensin di dekat situ. Jadi mestinya sekitar pukul empat, ia sedang lewat di Hamilton, menuju ke selatan. Kau ingin menanyakan padanya sendiri?" "Tidak perlu," kata Jupiter Jones. "Terima kasih!" Kedua remaja itu bergegas keluar, meloncat turun dari landasan, dan buru-buru membuka pintu taksi. "Cepat!" kata Jupiter pada pengemudi kendaraan itu, lalu menyebutkan alamat yang harus dituju. "Ini mendesak sekali!" "Beres," kata pengemudi taksi dengan sikap tak acuh, tapi ia berusaha cepat-cepat sampai ke tempat tujuan. Menyelip di antara keramaian lalu lintas di tengah kota, lalu menyusur Hollywood Freeway, menuju San Fernando Valley. Lalu lintas saat itu tidak macet. Tiga puluh menit kemudian, taksi itu sudah meluncur di Hamilton, menuju ke utara. "Sekarang pelan-pelan," kata Jupiter. Ia dan Pete berbagi tugas, masing-masing meneliti satu sisi jalan itu. Mula-mula nampak rumah-rumah kecil berjejer-jejer di kiri-kanan jalan. Tapi kemudian yang ada hanya tanah-tanah kosong belaka. Di beberapa tempat terpasang papan dengan tulisan bahwa tanah di situ dijual. Kemudian nampak lintasan kereta api di depan. Lintasan itu dilengkapi dengan sinyal otomatis, yang saat itu tidak berbunyi. Pengemudi taksi memperlambat jalan kendaraannya di situ, lalu memandang sebentar ke kanan dan ke kiri. Jupe melihat bahwa di seberang lintasan ada sebuah rumah yang berdiri sendiri. Sebuah rumah kayu yang kumuh dan nampak dimakan cuaca. Mungkin dulu merupakan bagian dari sebuah kebun jeruk. Beberapa batang pohon jeruk nampak di belakang rumah itu, terpencil dan kelihatan tak terurus. Rumah itu sendiri sudah lapuk. Pada jendela-jendelanya terpasang kawat nyamuk yang kini sudah berkarat, dan beberapa di antaranya bahkan sudah lepas atau robek. Lantai beranda depannya berlubang-lubang, karena papannya sudah ada yang hilang. "Nah?" kata pengemudi taksi. "Terus saja dulu," kata Jupiter. Mereka melewati beberapa bidang tanah kosong lagi, di mana terpasang papan-papan pengumuman bahwa tanah-tanah itu dijual. Satu blok lebih jauh nampak kembali rumah-rumah berukuran kecil dengan halaman rumput yang rapi, serta anak-anak yang bermain-main di trotoar, diterangi sinar matahari sore. "Di sudut depan nanti kita membelok ke kanan," kata Jupiter. Petunjuknya diikuti. Pengemudi taksi kemudian menghentikan kendaraannya di tepi trotoar, di depan sebuah rumah. Di situ ada seorang lelaki, yang sedang menyiram rumput. "Sekarang ke mana?" tanya pengemudi taksi. "Sebentar - harus kupikirkan dulu," kata Jupiter. "Mestinya rumah tua tadi, yang di dekat rel kereta. Rumah-rumah yang lain tidak cukup dekat, jadi tidak mungkin sinyal dari lintasan bisa terdengar di dalamnya. Sedang aku tadi jelas sekali mendengarnya, ketika Jeff menelepon." "Ya, itu satu-satunya tempat yang mungkin," kata Pete. "Dan cocok sebagai tempat menyepak orang. Biar ia berteriak pun, takkan ada yang bisa mendengar." Pengemudi taksi itu mendeham. "Kita kemari ini, hanya untuk melihat rumah tua yang sudah bobrok?" "Bagaimana kita bisa masuk ke sana, ya?" kata Jupiter. "Untuk apa?" tanya pengemudi taksi. "Kan dari luar pun sudah kelihatan bahwa tidak ada yang tinggal di situ - tapi jika kalian..." "Ada orang di situ," kata Jupiter, "dan kami harus bisa masuk ke situ, tanpa dilihat olehnya. Ah - kurasa aku tahu cara yang baik." Ia melihat sebuah mobil pengangkut yang kecil datang dari arah depan. Itu mobil penjual roti. Kendaraan itu berhenti sekitar lima puluh meter dari tempat mereka berada saat itu. Terdengar bunyi tuter, memainkan nada-nada riang. Kemudian pengemudinya turun sambil menjinjing keranjang berisi roti dan kue-kue. Seorang wanita muda keluar dari salah satu rumah di situ. Wanita itu memilih beberapa bungkusan dari keranjang penjual roti, lalu menyerahkan sejumlah uang padanya. "Itu dia!" seru Jupe. "Kita mengantar roti!" "Setuju!" seru Pete. Dengan cepat ia keluar dari taksi, lalu lari menghampiri mobil penjual roti sambil melambai-lambai. "Kalian ini sinting," kata pengemudi taksi, sementara Jupe keluar untuk menyusul Pete. "Aku masih harus menunggu lagi? Menurut meteran, kalian sudah harus membayar lima belas dolar, sedang..." Jupiter menyodorkan lembaran uang sepuluh dolar lagi padanya. "Ambil saja uang kembaliannya," katanya. "Dan jika nanti kami kelihatan naik ke mobil roti itu, jangan menunggu lebih lama. Anda tidak kami perlukan lagi." "Terserah," kata pengemudi taksi. Jupiter mendatangi penjual roti. Orangnya masih muda, bertubuh kurus, dengan kulit coklat kemerahan karena sering berjemur. Umurnya baru belasan tahun. Atau mungkin juga sedikit lebih tua dari dua puluh tahun. "Tapi aku tidak diizinkan mengambil orang yang hendak membonceng," kata pemuda itu pada Pete. "Kami bukan hendak membonceng," kata Pete. "Kami hendak mengantar roti ke sebuah rumah di dekat sini." Sementara itu taksi yang tadi datang mendekat. Pengemudinya menjulurkan kepalanya ke luar. "Beres?" tanyanya. "Apanya yang beres?" tukas tukang roti yang masih muda itu. "Ini baru hari pertama aku menjadi tukang roti. Aku tidak ingin membuat kesalahan." "Aku mengerti," kata Jupiter bersungguh-sungguh. "Percayalah, kami juga tidak ingin menyebabkan Anda mengalami kesulitan. Nama Anda siapa?" "Henry. Henry Anderson." "Begini, Mr. Anderson..." "Sebut saja Henry. Tapi begini -jika aku berbuat sembrono, dan itu sampai ketahuan - nah, nanti aku terpaksa antri lagi, menadahkan tangan untuk menerima tunjangan pengangguran." Jupiter mengangguk. "Kami ini mewakili kepentingan Mrs. Jonathan Darnley," katanya dengan gaya orang dewasa. Ia mengeluarkan dompetnya, lalu menyodorkan selembar kartu nama Trio Detektif pada penjual roti itu. "Kami punya alasan untuk menduga bahwa cucu laki-laki Mrs. Darnley disekap di dalam rumah itu." "Mrs. Darnley?" kata Henry Anderson. "Kurasa aku pernah melihat fotonya, di surat kabar. Tapi, Trio Detektif? Belum pernah kudengar." "Aku Jupiter Jones," kata Jupe, "dan ini Pete Crenshaw. Rekan kami, Bob Andrews, saat ini sedang mengamat-amati seorang tersangka, di Beverly Hills." "Wah, seperti cerita TV saja," kata pengemudi taksi, yang masih belum pergi juga. "Kami ini benar-benar detektif," kata Jupiter berusaha meyakinkan penjual roti. "Selama ini kami sudah sering membongkar berbagai misteri yang memusingkan pihak kepolisian. Tapi dalam kasus ini, polisi sama sekali tidak diberi tahu. Mrs. Darnley takut, kalau-kalau cucunya diapa-apakan oleh penculik." Henry Anderson membolak-balik kartu nama yang ada di tangannya. Seolah-olah dengan begitu ia akan bisa menemukan jawaban, tentang apa yang harus dilakukan. Dipandangnya Jupe, lalu Pete. "Kita harus cepat-cepat bertindak," kata Pete. Rupanya timbul pikiran tidak enak dalam hatinya. "Menurut kami Jeff mungkin dalam keadaan selamat - tapi kami tidak bisa mengatakannya dengan pasti. Tadi pukul empat ia masih baik-baik saja, ketika menelepon neneknya untuk memberi tahu tentang tebusan yang dituntut penculik." "Polisi..." kata Henry Anderson dengan nada bingung. "Kami tidak berani menghubungi," kata Jupe. "Tidak diizinkan oleh Mrs. Darnley. Kami harus berusaha sendiri, menyelamatkan Jeff." "Oke," kata Henry Anderson. "Oke, oke, oke! Mungkin aku ini sama sintingnya seperti kalian - tapi jika kalian memang tidak bohong, dan aku tidak membantu..." "Nah - semoga berhasil," kata pengemudi taksi, lalu pergi dengan kendaraannya. "Apa yang harus kulakukan?" tanya Anderson. "Pinjamkan topi dan jaket Anda," kata Jupe, "lalu jalankan mobil ini lewat rumah tua yang ada di dekat lintasan kereta api yang di sana itu. Anda berhenti di situ. Nanti aku turun, lalu pergi ke rumah itu dan membunyikan bel." "Kami tidak biasa membunyikan bel rumah orang," kata Anderson. "Aku cuma membunyikan tuter, dan pembelilah yang keluar." "Jika penculik itu memang orang yang kami duga, ia takkan mengetahuinya," kata Jupiter menenangkan. Dua menit kemudian mobil penjual roti itu sudah meluncur lewat tanah-tanah kosong yang ditawarkan untuk dijual. Jupe duduk di belakang, mengenakan jaket dan topi Henry Anderson. Pete meringkuk di lantai, bersandar ke rak tempat roti dan kue-kue. "Nanti hati-hati, ya," katanya pada Jupe. "Jangan khawatir," kata Jupe menenangkan. "Jika setelah beberapa saat masuk, aku tidak muncul lagi..." "Itu berarti jangan membuang-buang waktu lagi, kan?" kata Pete. "Jika itu terjadi, aku akan langsung menyusul." "Aku juga," kata Henry Anderson menawarkan diri. Mobil dihentikannya di depan rumah kayu yang sudah bobrok itu. "Ini maksudmu?" "Betul," kata Jupe sambil turun. Jaket yang dipakainya tidak dikancingkan, karena agak sempit baginya. Diambilnya keranjang yang berisi roti dan kue-kue. Sambil bersiul-siul ia berjalan di lajur beton yang sudah retak-retak, menuju ke tangga beranda rumah bobrok itu. Dengan hati-hati ia naik ke beranda. Setiap papan dicoba dulu, sebelum ia menginjakkan kaki di atasnya. Di pintu ternyata tidak terpasang bel. Karenanya Jupe mengetuk-ngetuk saja. Ia menunggu sebentar. Di dalam rumah tidak terdengar apa-apa. Sekali lagi ia mengetuk pintu. "Van Alstyn's Bakery!" serunya, menyebut nama perusahaan roti itu. "Ada orang di rumah?" Rumah itu tetap sunyi. Jupe bergerak selangkah ke kanan, lalu mengintip ke dalam lewat salah satu jendela depan. Hanya kekosongan saja yang kelihatan di dalam, serta debu dan bercak-bercak bekas air hujan yang merembes masuk lewat dinding. Tapi ia juga melihat sesuatu, yang menyebabkan jantungnya berdebar lebih cepat. Di lantai kamar depan yang berselimut debu, kelihatan ada jejak yang jelas. Ada sesuatu yang diseret dari situ, ke arah belakang rumah. Dan di salah satu sudut ruangan kosong dan berdebu itu nampak sebuah pesawat telepon. Pesawat itu berwarna putih mulus. Kelihatan sekali kalau masih baru! Jupiter meletakkan keranjang tukang roti di lantai beranda, lalu mencoba memutar tombol pegangan pintu. Ternyata terkunci. Tapi jendela di samping pintu tidak terkancing. Jupiter memegang sisi bawah bingkainya, lalu menarik ke atas. Diiringi bunyi yang menyakitkan telinga, jendela itu terbuka. Di dalam rumah masih tetap sunyi. Jupiter melangkahi ambang jendela, lalu masuk ke dalam. Di belakang kamar depan yang kertas dindingnya sudah robek-robek, terdapat dapur. Jupiter melihat plastik hamparan lantai yang sudah usang, serta sebuah bak tempat cuci piring yang sudah tua. Dengan cepat ia melangkah ke ambang pintu yang menuju ke dapur. Kemudian ia tertegun. Jeff Parkinson ada di situ. Anak itu tergeletak di lantai, dalam keadaan terikat erat. Mulutnya tertutup sapu tangan dekil. Tapi matanya terbuka, menatap dengan waspada. Matanya menyipit sedikit ketika melihat Jupe muncul di ambang pintu, seolah-olah ia mencoba tersenyum. Bab 15 BERLOMBA DENGAN WAKTU JEFF duduk di tengah-tengah dapur, sambil mengusap-usap pergelangan kaki dengan kedua tangannya. "Kakiku kesemutan," katanya mengeluh. Tapi ia tersenyum, sambil memandang Jupe. Setelah itu beralih ke Pete dan Henry Anderson. Mereka berdua datang sambil berlari-lari, ketika Jupe memanggil. "Senangnya hatiku melihat kalian muncul," kata Jeff lagi. "Aku tidak yakin apakah penjahat kurus kecil itu benar-benar akan kembali lagi kemari untuk membebaskan aku, apabila cermin itu sudah diperolehnya. Sesudah aku menelepon nenekku, aku diseretnya dari depan kemari, untuk berjaga-jaga kalau ada orang heran melihat mobilnya diparkir di luar, lalu mengintip ke dalam lewat jendela." "Kecil kurus, katamu?" tanya Jupiter. "Kalau begitu bukan Senor Santora, dan juga bukan hantu kita. Kedua-duanya tidak kecil. Jadi kurasa yang kaumaksudkan, pasti tamu tak diundang yang waktu itu." "Ya, memang dia orangnya - dan namanya memang Juan Gomez. Ia tidak mengatakan padaku, apa sebabnya ia menghendaki cermin itu." "Lebih baik kau menelepon nenekmu saja dulu," kata Pete menyarankan. Jeff mengangguk. Ia berdiri, lalu berjalan dengan limbung. Dihampirinya pesawat telepon putih yang ada di ruang depan, lalu duduk di sebelahnya, diputarnya nomor telepon rumah Mrs. Darnley. terdengar bunyi deringan di seberang sambungan. "Halo, Nek," kata Jeff kemudian. "Ini aku - Jeff. Aku selamat." Tidak jelas apa yang dikatakan oleh Mrs. Darnley di seberang sambungan. "Aku benar-benar selamat," kata Jeff lagi. "Aku ditemukan oleh Jupe dan Pete." Ia masih berbicara lagi selama kira-kira semenit, lalu diserahkannya gagang telepon pada Jupiter. "Bob ingin bicara," katanya. "Bob? Eh - kusangka Bob saat ini ada di Beverly Hills, mengamat-amati Santora!" kata Jupe, sambil menerima gagang telepon yang disodorkan. "Halo, Bob? Apa yang terjadi? Mana Santora?" "Aku gagal!" kata Bob. Suaranya terdengar sangat lesu. "Ia berhasil meloloskan diri dari pengamatanku. Sekitar pukul empat tadi ia keluar dari kamarnya, lalu pergi. Aku langsung membuntuti. Ternyata ia punya mobil, diparkir di salah satu jalan di samping hotel. Ia masuk ke dalam mobilnya, lalu segera pergi. Aku tidak bisa menyusul, karena saat itu tidak ada taksi lewat. Aku lantas menelepon kemari - maksudku ke rumah Mrs. Darnley. Jean yang menerima mengatakan bahwa kalian berdua tidak ada, sedang berusaha mencari Jeff. Karena itu aku pulang saja kemari." "Bagaimana dengan cermin?" tanya Jupiter. "Pamanmu baru saja beberapa menit yang lalu berangkat ke San Pedro, bersama Hans dan Konrad," kata Bob. "Mereka membawa cermin itu yang seperti diminta akan mereka antarkan ke tempat yang ditentukan. He - kalian sekarang di mana sih? Bagaimana dengan Jeff? Betul tidak apa-apa? Mrs. Darnley ingin..." Kalimatnya terputus, dan disambung suara Mrs. Darnley. "Siapa yang menculik cucuku?" tanya wanita itu. "Lelaki bertubuh kecil yang masuk secara paksa ke rumah Anda, dan kemudian ketahuan ketika sedang berada di ruang perpustakaan, Mrs. Darnley," kata Jupe. "Juan Gomez?" kata Mrs. Darnley meminta penegasan. "Memang itu namanya," kata Jupiter. "Menurut Jeff, kini ia sedang dalam perjalanan menuju San Pedro." "Aku tadi tidak sempat melihat nomor mobilnya," keluh Jeff. "Sialan! Aku tidak memperhatikan, karena saat itu aku setengah mati ketakutan. Ia bersenjata pistol." "Sudahlah, jangan kausesali hal itu," kata Jupiter Jones. "Mrs. Darnley, karena Jeff sudah aman sekarang Anda bisa menelepon polisi, agar mereka mengepung gudang di San Pedro itu. Paman Titus akan mengantarkan cermin itu ke sana bersama Hans dan Konrad, lalu kalau Gomez nanti muncul di sana, polisi bisa langsung meringkusnya. Dengan begitu penculik cucu Anda akan tertangkap - tapi..." Jupe berhenti sebentar, lalu menyambung sambil nyengir, "tapi kalau itu kita lakukan, mungkin kita takkan pernah bisa mengetahui segala seluk-beluk misteri ini. Mungkin kita takkan pernah tahu apa hubungan antara orang itu dengan Santora, atau dengan Baldini. Itu, tukang sulap yang menjadi hantu Chiavo." "Aku ingin mengetahui segala-galanya!" kata Mrs. Darnley dengan tegas. "Setuju!" kata Jupiter Jones. "Kalau begitu kita tidak boleh membuang-buang waktu lagi. Saya dan Pete akan langsung menuju ke gudang itu. Tolong katakan pada Bob, agar menggabungkan diri dengan kami di San Pedro. Suruh dia menunggu di suatu tempat, dari mana ia bisa melihat kami saat kami membelok keluar dari jalan bebas hambatan. Kami akan ke sana naik taksi, lalu sesampainya di persimpangan kami berhenti untuk..." "Kalian tidak perlu naik taksi ke sana!" sela Henry Anderson. "Apa katamu?" tanya Jupiter, yang sementara itu sudah merasa akrab dengan penjual roti yang masih muda itu. "Aku mengatakan, kalian tidak perlu naik taksi. Kalian akan ke sana naik mobil tukang roti! Aku tadi untung-untungan mempercayai cerita kalian, dan ternyata kalian tidak bohong. Jadi aku sekarang ingin ikut terus, sampai urusan ini benar-benar selesai!" "Mobil roti!" seru Pete dengan gembira. "Asyik! Takkan ada yang menyangka tukang roti sebenarnya detektif!" "Kami akan naik mobil roti milik perusahaan Van Alstyn's Bakery," kata Jupiter pada Mrs. Darnley di seberang sambungan. "Setelah menjemput Bob, kami akan mengamat-amati penculik itu, saat ia masuk ke dalam gudang. Jika ia membawa teman, teman itu akan kami lihat juga. Cermin itu terlalu berat, tidak mungkin satu orang saja akan kuat mengangkatnya. Jadi ia pasti membawa teman!" Jeff mengambil gagang telepon dari tangan Jupiter. "Nenek, aku ikut dengan Jupe dan Pete." Dengan cepat gagang telepon dikembalikan ke tempatnya, sebelum neneknya sempat melarang. "Yuk, kita cepat-cepat berangkat!" kata Pete. "Sekarang sudah hampir pukul enam!" "Ocean Avenue?" tanya Henry Anderson dengan heran, ketika Jupiter menyebutkan ke mana mereka harus pergi. "Katamu tadi, San Pedro. Ke sanakah kita sekarang?" "Betul, di situ lokasinya," kata Pete. "Dan kita harus sudah ada di sana sebelum pukul tujuh. Bagaimana - bisa tidak?" Anderson meringis. "Mungkin kue-kueku nanti ada yang berantakan di tengah jalan, tapi kita takkan sampai terlambat," katanya berjanji. Setelah itu mereka bergegas ke luar, menuju mobil roti. Pete dan Jeff masuk ke bagian belakang, lalu duduk di lantai sambil bersandar pada rak-rak tempat roti dan kue. Jupiter juga duduk di lantai, tapi di depan - di samping satu-satunya tempat duduk, yang tersedia untuk pengemudi kendaraan itu. Henry Anderson menutup pintu mobil. Ditekannya pedal gas dalam-dalam, seakan siap-siap untuk berpacu. Mereka berangkat. Dalam waktu sepuluh menit saja mereka sudah sampai di Hollywood Freeway. Di jalan raya bebas hambatan itu Anderson mempercepat jalan kendaraannya, sampai ke batas kecepatan yang diizinkan. "Tidak bisa lebih cepat lagi?" seru Pete yang duduk nongkrong di belakang. "Sekarang sudah pukul enam lewat lima!" "Kalau mobil ini kupacu melebihi batas kecepatan yang diizinkan, atau terlalu sering berpindah jalur, nanti patroli jalan raya akan menahan kita," seru Anderson membalas. "Tenang-tenang sajalah - kita takkan terlambat sampai di sana!" Pukul enam lewat dua puluh lima menit, mobil roti itu membelok ke Harbor Freeway. Lewat jalan bebas hambatan kawasan pelabuhan itu mereka menuju ke gudang di San Pedro. Sesaat kemudian merasa bahwa Anderson memperlambat jalan kendaraan. "Ada apa?" tanya Pete dari belakang. "Lalu lintas di sini ramai," kata Anderson dengan tenang. "Tapi tidak apa, karena tidak macet. Untung sekarang hari Sabtu! Coba kalau tidak - kita bisa macet di sini." Pete sudah gelisah saja di belakang. Berulang kali Henry Anderson terpaksa menenangkannya. Tapi Jupiter melihat bahwa pemuda itu pun kelihatannya mulai gelisah. Kemudian lalu lintas kendaraan menipis, sehingga jalan kendaraan bisa dipercepat lagi. Mobil itu meluncur di jalur cepat, di samping jalur pemisah di tengah. Ketika sudah mendekati daerah pantai, sinar matahari sore menjadi buram. "Kita akan memasuki kabut," kata Anderson "Kawasan pelabuhan sebentar lagi tertutup kabut." "Tidak apa," kata Jupiter menenangkan. "Sebelum ini kami sudah pernah beraksi di tengah kabut." "Kita sudah hampir sampai." Anderson menggerakkan mobil ke pinggir, lalu membelok ke luar dan memasuki Ocean Avenue. Anderson menghentikan mobil di persimpangan jalan yang pertama. "Perlukah kubunyikan tuter?" katanya. "Tidak usah," kata Jupe. "Bob datang dari Hollywood, jadi ia pasti sudah lebih dulu tiba. Ia ada di sekitar sini. Biar dia saja menemukan kita." "Ini sudah pukul tujuh kurang sepuluh!" seru Pete dengan gugup dari belakang. "Itu berarti kita masih punya waktu sepuluh menit," jawab Jupiter. Seseorang bertubuh langsing muncul dari sebuah gerbang pintu di seberang jalan. "Dia itukah teman kalian?" kata Anderson sambil menunjuk. Jupe berdiri untuk menengok. "Ya, itu Bob." Ia melambai. Bob membalas, lalu lari menyeberang. Ia bergegas-gegas masuk ke mobil. "Maaf ya, Santora tadi berhasil lolos dari pengamatanku," katanya. Ia menoleh ke arah Jeff, sambil tersenyum. "Kau ini macam-macam saja, membuat orang ketakutan." "Apalagi aku sendiri," kata Jeff. "Belum pernah seumur hidupku aku setakut tadi!" "Nanti sajalah kita bicara tentang itu," kata Jupiter Jones mengecam. "Kita terus di jalan ini," katanya pada Anderson. "Jalan pelan-pelan, seolah-olah menunggu dipanggil orang yang hendak membeli roti." Anderson melakukan apa yang diminta oleh Jupiter. "Sebetulnya kami memang punya mobil untuk kawasan San Pedro," katanya. "Tugas kelilingnya pagi-pagi. Pembelinya kebanyakan para pekerja di galangan, dan di berbagai perusahaan angkutan di sekitar sini. Kita ini sebetulnya mencari apa?" "Sebuah gudang kosong, yang dulunya ditempati sebuah perusahaan penggudangan barang, yang namanya 'Peckham Storage Company'. Di depan bangunan itu masih terpasang papan nama perusahaan itu. Jika kita sampai di sana nanti, kau harus berbuat seolah-olah mobilmu ini mogok." "Itu soal gampang," kata Anderson. Mereka menelusuri jalan besar yang saat itu nyaris lengang. Gudang-gudang dan kantor-kantor pelayaran yang mengapit di kiri-kanan, semuanya sudah tutup. Sebuah mobil berpapasan dengan mereka, menuju ke jalan bebas hambatan di sebelah barat. Seorang laki-laki memakai pakaian kerja berjalan di trotoar, membawa jaket. Ketika mereka sudah hampir sampai di Ocean Boulevard, kabut pun mulai menyusup masuk di antara gedung-gedung. Mereka melewati deretan dermaga yang sunyi sepi. Sekali-sekali nampak perairan tempat kapal-kapal berlabuh, di belakang dermaga-dermaga itu. "Itu dia," kata Anderson, dengan suara lirih. Jupe dan Bob cepat-cepat menegakkan tubuh. Sambil berlutut mereka memandang dari balik jendela ke luar. Di sebelah kanan nampak sebuah bangunan persegi empat, terbuat dari batu bata. Bangunan itu kelihatan kumal. Kecuali karena memang sudah tua, juga karena jelaga yang menempel di dindingnya. Tulisan pada papan nama yang terpasang di depannya sudah buram, tapi masih bisa dibaca. Sebuah truk besar milik Paman Titus diparkir di depannya. "Paman Titus masih ada situ," kata Jupiter pada teman-temannya yang duduk di belakang. "Itu berarti si penculik belum muncul," kata Pete. Nadanya terdengar lega. "Kita terus dulu," kata Jupe pada Anderson. "Kira-kira setengah blok lebih jauh, baru kaumatikan mesin." Mobil roti itu berjalan dengan pelan melewati gudang. Setelah itu minggir ke dekat trotoar. Mesinnya dimatikan. Jupe dan Bob bergegas ke belakang kendaraan itu, lalu memandang ke luar lewat jendela belakang. Mereka melihat Paman Titus keluar dari dalam bangunan, lalu naik ke kabin truknya, diikuti oleh Hans dan Konrad. "Beres," kata Jupe. "Petunjuk sudah dipatuhi. Sekarang kita tinggal menunggu." Henry Anderson membuka pintu mobilnya. "Mau ke mana?" tanya Pete. "Aku harus mengutak-utik mesin," kata Anderson. "Apakah yang dilakukan orang yang mobilnya mogok? Pasti turun, lalu memeriksa mesin. Kalau tidak begitu, kan aneh!" Jupiter tertawa geli. "Rupanya kau punya bakat untuk menjadi detektif jempolan, Henry Anderson!" Bab 16 MEMPEREBUTKAN CERMIN BERHANTU HENRY Anderson mengutak-utik mesin mobil roti itu. Dibukanya busi-busi, dibersihkan, lalu dipasang lagi. Radiator dilihat isinya, baterai diperiksa. Sementara itu Jeff ikut meringkuk bersama Trio Detektif dalam kendaraan itu. Jupe mengintip sebentar dari balik jendela. Kepalanya tetap dirundukkan, agar tidak ada yang bisa melihat dirinya dari jalan. Pete berlutut di balik jendela sebelah belakang. Ia juga mengamati keadaan dijalan. "Perasaanku tidak enak," kata Pete setelah beberapa saat. "Kabut semakin tebal, dan hari juga mulai gelap. Bisa saja penjahat itu sekarang sudah ada di dalam gudang. Dan kalau ia masih lama lagi di situ, bisa jadi kita tidak melihatnya saat ia keluar nanti." "Kurasa ia belum ada di dalam," kata Jupiter Jones. "Tolol, kalau ia melakukannya untuk menunggu cermin itu dibawa ke situ. Soalnya, kalau Mrs. Darnley menghubungi polisi, ia akan terjebak. Menurut dugaanku saat ini ia berkeliaran di luar, untuk memastikan bahwa polisi tidak menunggu untuk menyergapnya nanti. Dan jika itu yang dilakukannya, ada kemungkinan ia merasa curiga pada Henry, teman kita yang di luar." Jupiter mengetuk-ngetuk jendela dengan pelan. Henry Anderson mendengarnya, lalu pergi ke sisi kendaraan itu. "Mungkin lebih baik jika kau berhenti saja mengutik-utik mesin," kata Jupe padanya. "Kenapa tidak pura-pura menelepon saja, minta pertolongan? Bukankah itu yang akan kaulakukan, jika mobilmu benar-benar mogok?" Anderson mengangguk. "Baiklah. Kalau begitu pergi saja sekarang, mencari telepon. Kita nanti memang memerlukannya, jika penculik itu muncul. Kalau sudah ketemu, kau kembali lagi kemari. Menurut perasaan kami, kau membuat penculik itu gelisah." "Wah - itu tidak boleh sampai terjadi," kata Anderson, lalu pergi. Lima menit sudah lewat, ketika - "Itu!" kata Pete berbisik. Jupe cepat-cepat pindah ke bagian belakang mobil. Pete menuding. Seorang lelaki kurus berpakaian serba hitam keluar dari balik pagar yang mengelilingi sebuah tempat penjualan kayu. Orang itu memandang ke arah mobil roti dengan sikap curiga. "Itu kan orangnya?" tanya Jupiter pada Jeff Parkinson. "Kurasa ya," kata Jeff. "Sulit mengatakannya dengan pasti, karena terhalang kabut ini." "Sebentar lagi kita akan bisa tahu," kata Bob. Lelaki itu mulai berjalan menyusur trotoar, menuju ke arah mobil. "Astaga!" desah Pete. "Ia menuju kemari." "Cepat, semuanya menunduk!" kata Jupiter. Saat itu terdengar suara Henry Anderson yang riang di luar. "Selamat malam," sapanya. "Ya," kata lelaki berpakaian hitam itu. "Malam-malam begini, masih berjualan juga." "Maksudku ingin mendapat tambahan penghasilan," kata Anderson. "Ide konyol! Tak kusangka San Pedro begini sepi pada malam Minggu - dan sekarang mobilku mogok pula. Pasti habis aku nanti, diomeli majikanku. Eh - bagaimana, mau beli roti? Atau kue-kue?" "Roti? Ya. Ya, boleh juga. Coba lihat roti Anda." Anak-anak meringkuk di ujung belakang mobil, sambil berusaha mengecilkan tubuh. Henry Anderson masuk ke ruang depan, lalu menggapai-gapai ke belakang. Rupanya ia mencari keranjang roti. Bob menyambar barang yang dicari, lalu menyodorkannya pada Henry. Henry berpaling. Nyaris saja keranjang yang dipegangnya membentur lelaki kurus yang berdiri dekat sekali di belakangnya. "Aku menjual roti tawar biasa," kata Henry. "Tapi ada jenis-jenis lainnya. Yang rasa masam, roti hitam, roti Prancis, lalu..." Lelaki itu menyedot hidung. "Tidak jadi saja, ah," katanya. "Pastei Prancis?" kata Henry menawarkan. "Kue mangkok?" "Tidak sajalah, terima kasih. Maaf." "Ah, tidak apa," kata Henry. "Aku toh harus menunggu mobil derek." "Kalau begitu selamat malam," kata lelaki kurus itu. "Sama-sama." Orang itu berpaling, lalu menuju ke arah gudang. Anak-anak menarik napas lega. "Nyaris saja ketahuan," kata Bob. "Untung kau cepat datang, Henry." "Dua blok dari sini ke arah timur ada telepon umum," kata Henry melaporkan. Mereka memperhatikan lelaki tadi menyeberang jalan, menghampiri pintu gerbang gudang, lalu setelah menoleh ke belakang sejenak, cepat-cepat membuka pintu itu dan masuk ke dalam. "Bagaimana - kita susul dia?" tanya Jeff. "Lebih baik kita tunggu sebentar," kata Jupiter lirih. Kemudian muncul seseorang lagi di jalan. Orang itu lebih tinggi daripada lelaki yang muncul dari balik pagar tempat penjualan kayu. Orang yang datang kemudian, tidak memandang ke kanan maupun ke kiri, melainkan langsung menuju pintu gudang, lalu masuk ke dalam. "Kalau tidak salah, itu Santora," kata Pete. "Tepat seperti yang kuharapkan akan terjadi!" kata Jupiter Jones dengan gembira. "Sekarang kita masuk ke sana, lalu kita lihat saja apa yang terjadi di dalam. Henry, beri kami waktu sepuluh menit di dalam, lalu sesudah itu kau ke bilik telepon untuk menghubungi polisi. Apa pun yang terjadi nanti, polisi pasti akan kita perlukan." "Baik," kata Henry. Trio Detektif dan Jeff Parkinson keluar dari mobil roti, lalu bergegas menghampiri gudang. Sesampainya di pintu, mereka berhenti. "Tak terdengar apa-apa," bisik Bob. "Hanya bunyi air saja. Gudang ini mestinya dibangun di atas air." Ditariknya gagang pintu. Pintu terbuka tanpa menimbulkan bunyi. Keempat remaja itu melihat dinding-dinding di dalam, serta sebuah pintu lagi. Di sisi kanan ada jendela berterali. Letaknya tinggi. Lewat jendela itu, cahaya remang petang yang berkabut memancar ke dalam. Mereka ternyata berada di sebuah ruang kecil dan kosong, berhadapan dengan pintu berdaun ganda, dengan kaca pada bagian atasnya. Keempat remaja itu mengendap-endap mendekati pintu sebelah dalam itu. Mereka memandang ke ruangan sebelah lewat panel kaca. Ruangan sebelah ternyata luas sekali, dan lapang. Pada langit-langitnya yang tinggi ada jendela-jendela kaca. Sudut-sudut ruangan itu sangat gelap. Juan Gomez berdiri di ujung seberang. Ia sedang memperhatikan cermin yang diantar Paman Titus ke situ, dengan dibantu Hans dan Konrad. Cermin itu disandarkan ke salah satu tonggak baja yang menopang kerangka atap. Di antara pintu dan lelaki kecil itu nampak sosok gelap. Pasti itu Santora. Lelaki misterius yang mengaku keturunan Chiavo Sang Penyihir itu berdiri mematung sambil memandang, sementara ia sendiri diperhatikan oleh anak-anak dari balik pintu. Jupe menekan salah satu pintu itu, yang langsung terbuka sedikit. Keempat remaja itu berdiri diam-diam, nyaris tidak berani bernapas. Mereka memperhatikan, sambil memasang telinga. Lelaki kurus berpakaian serba hitam itu meraba-raba bingkai cermin. Setelah itu ia berjalan lambat-lambat mengitarinya. Kemudian ia mengeluarkan sebuah obeng dari kantungnya. "Apa yang kaucari, Penjahat?" tukas Santora dengan tiba-tiba. Lelaki kurus itu terkejut. Obeng terlepas dari pegangannya, sementara ia menatap Santora yang berdiri di tengah keremangan ruangan itu. "Jangan bergerak," kata Santora. "Aku membawa pistol, dan aku takkan segan-segan mempergunakannya." Santora melangkah maju. Saat itu anak-anak melihat bahwa ia memang menggenggam pistol. Senjata api itu diarahkan lurus-lurus ke kepala lelaki kecil yang ada di depannya. "Masih hendak kauteruskan juga kelaknatan ini, Gomez?" tukas Santora. "Manolos sudah mati, dan jandanya kini hidup dengan tenang. Wanita itu tidak tahu apa-apa." "Dia itu manusia dungu," kata si lelaki kecil. "Kau yang dungu, Gomez," kata Santora. "Kaulah yang mengarahkan perhatian kami pada cermin itu. Di situ kan rahasia itu disembunyikan? Selama ini, bertahun-tahun! Itulah rahasia kekuasaan Manolos - cermin Chiavo. Cermin itu harus dimusnahkan!" "Ini milikku!" kata Gomez berkeras. "Aku dijanjikan akan memperolehnya. Sekian tahun lamanya aku bekerja untuk dia, dan ia berjanji bahwa cermin ini akan menjadi milikku. Tapi ketika ia mati, jandanya yang goblok itu mengirimkannya ke luar negeri sementara aku sedang tidak ada, karena..." "Karena kau sedang mendekam dalam penjara," kata Santora menyambung. Ia duduk di atas sebuah peti kemas. "Kau ini benar-benar malang, Juan Gomez. Kau mendekam dalam penjara ketika tuanmu mati, karena kau tertangkap basah ketika hendak mencopet seorang wisatawan Inggris. Gomez yang malang! Kau kalah. Kau selalu kalah. Cermin itu harus dimusnahkan, demi keselamatan Republik." "Tidak!" teriak Gomez. "Cermin ini milikku! Aku dijanjikan akan memperolehnya." "Manolos bohong," kata Santora dengan tegas. "Kau dibohonginya. Kenapa kausangka ia takkan mau membohongimu, jika orang lain semua dibohongi olehnya? Kausangka kau orang istimewa, ya? Tapi sekarang segala-galanya sudah berakhir. Cermin itu akan kumusnahkan." "Tidak bisa!" teriak Gomez. "Perasaanmu halus. Aku tahu watakmu. Kau tidak bisa menggertak aku! Kau, dengan muka dan tingkah lakumu yang serba halus! Aku tidak bisa kaugertak! Kau takkan mampu menumpahkan darah orang lain!" Gomez yang sudah bingung itu tahu-tahu menerjang ke arah lawannya yang menggenggam pistol. Terdengar suara letusan, serta bunyi peluru terpantul pada besi, lalu menembus kayu di sebelah atas ruangan itu. Santora berteriak, sambil berusaha mencampakkan lelaki kecil yang menyerangnya. Ia melakukannya dengan sikap seperti mencampakkan binatang yang menjijikkan. Pistol terlepas dari pegangannya, dan tergeleser di lantai. Santora dan Gomez membalikkan tubuh dengan cepat, sama-sama hendak mengambil pistol yang tercampak itu. Gomez berteriak marah, ketika dilihatnya senjata api itu meluncur ke sebuah lubang yang terbuka di lantai, lalu jatuh ke dalamnya. Terdengar bunyi benda tercebur ke air. Santora meluruskan sikapnya berdiri. "Nah," katanya. "Mungkin kau tadi benar. Mungkin aku lebih suka tidak menembakmu. Tapi kau takkan bisa pergi dari sini dengan cermin itu." Dipungutnya sepotong kayu yang ada di dekatnya. Ia melangkah, lalu berdiri menghadapi cermin. "Sekarang akan kukerjakan apa yang menyebabkan aku kemari," katanya. "Cermin ini akan kumusnahkan." Saat itu Jupiter muncul dari balik pintu. "Sebelum itu Anda lakukan," katanya dengan tenang, "ada beberapa pertanyaan yang ingin saya ajukan." Lelaki yang bernama Juan Gomez melongo, menatap keempat remaja yang tahu-tahu ada di situ. Begitu pandangannya tertumbuk pada Jeff Parkinson yang disangkanya masih tersekap di dalam rumah tua itu, ia berteriak - lalu menyerbu ke arah Trio Detektif. "Berhenti!" seru Pete. Ia berkelit melewati Jupiter yang berdiri di depannya, lalu menubrukkan dirinya ke arah pinggang penculik itu. Gomez langsung roboh sambil menjerit kesakitan. Pete cepat-cepat mendudukinya. "Lama-lama ini bisa menjadi kebiasaan," katanya. "Kubantu kau," kata Jeff, lalu ikut duduk menindih Gomez. "Nah," kata Jupiter Jones pada Santora yang terheran-heran, "kami memang masih remaja, tapi masih ada kami berdua menghadapi Anda yang seorang diri. Tidak ada yang bisa meninggalkan tempat ini, sampai kami sudah memperoleh jawaban tentang beberapa hal yang ingin kami ketahui." Bab 17 CERMIN CHIAVO MEMBEBERKAN RAHASIANYA JUAN Gomez tidak meronta-ronta lagi. Kini ia berbicara dengan suara yang tidak jelas, meski kedengarannya seperti menyumpah-nyumpah. "Jangan pecahkan cermin itu, Senor Santora," kata Jeff. "Tidak peduli milik Anda atau bukan, tapi jangan Anda pecahkan! Nenek saya bisa pingsan nanti!" "Lagi pula," kata Jupiter Jones, "jika Anda memecahkannya, mungkin saja Anda akan membeberkan rahasia itu pada Juan Gomez. Sedang dia, saya rasa ia tidak tahu apa sebenarnya rahasia itu." "Aku tahu," kata Gomez. "Dari semula aku sudah tahu. Tapi buktinya, itulah yang kuinginkan." "Kalau begitu saya bisa mengatakannya dengan cara lain," kata Jupiter lagi. "Gomez tidak tahu, pada bagian mana dari cermin itu bukti yang dicari-cari disembunyikan. Dan saya rasa Anda juga tidak mengetahuinya, Senor Santora. Sedang tentang cerita Anda bahwa Anda keturunan Chiavo Sang Penyihir, saya rasa itu bisa kita lupakan saja, karena itu cuma karangan Anda saja." "Aku takkan mengatakan apa-apa," kata Santora. "Saat ini Anda belum perlu mengatakan apa-apa," kata Jupiter padanya. "Misalnya saja kami tahu bahwa Anda ini bekerja atas perintah Presiden Republik Ruffino. Anda pasti bukan keturunan Chiavo, tapi bisa saja - apa? Anda putra Presiden Garcia?" Santora terhenyak duduk di atas peti kemas yang tadi. "Kau!" katanya. "Kau yang dengan diam-diam masuk ke kamarku di hotel. Kau membongkar surat-suratku!" "Bukan, itu bukan Jupe, tapi Gomez," kata Pete. "Ia yang memukul kepala Anda, sampai Anda pingsan. Saat itu saya ada di luar. Saya mendengar segala-galanya, dan saya juga melihat Gomez pergi!" Lelaki kecil yang ditindih Pete dan Jeff meronta-ronta lagi, sambil mengumpat-umpat. "Orang itu!" keluhnya. "Orang yang selalu berpakaian apik itu - ia bicara demi kebaikan Republik! Dia itu keponakan Garcia, si Gagah, si Jujur, yang menganggap dirinya penyelamat negara Ruffino! Apa - dia pencuri! Pamannya pencuri, dan keponakannya juga sama saja!" Jupiter mendeham. "Ketika Presiden Garcia menang dalam pemilihan umum dua belas tahun yang lalu, lawannya melancarkan tuduhan bahwa ia bukan orang yang jujur. Kata lawannya waktu itu, ia punya bukti bahwa Garcia dulunya penjahat. Tapi saingan itu tidak bisa menunjukkan bukti-bukti mengenai hal itu, dan kemudian Garcia memenangkan pemilihan itu. Bukti-bukti itu! Bukankah Garcia tahun ini harus mencalonkan diri lagi untuk dipilih menjadi presiden yang berikut? Bagaimana jika ada yang bisa menyodorkan bukti-bukti tuduhan bahwa ia pernah melanggar hukum? Apakah yang akan terjadi?" "Itu akan merupakan tragedi bagi Ruffino," kata Santora. "Sebentar lagi polisi akan tiba di sini, Senor Santora," kata Jupiter. "Kami yang memanggil! Mereka nanti pasti ingin tahu apa sebabnya cermin itu begitu penting, sampai Gomez menculik cucu Mrs. Darnley dalam usaha untuk memperolehnya secara paksa. Saya rasa saya tahu." Santora terkejut. "Kau tahu? Tapi itu kan mustahil!" "Urusannya menyangkut pemerasan kan, Senor Santora?" kata Jupiter Jones. "Isabella Manolos sama sekali tidak tersangkut di dalamnya. Ia sama sekali tidak tahu dengan cara bagaimana almarhum suaminya bisa memperoleh kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan Republik Ruffino. Ia tidak tahu, tapi kami bisa menduga. Ia memiliki bukti-bukti itu! Bukti-bukti kebenaran tuduhan terhadap presiden kalian yang sekarang. Manolos semasa hidupnya melakukan pemerasan terhadap Presiden Garcia, dengan ancaman akan membeberkan rahasia yang akan merusak nama baiknya." Santora terhenyak. "Polisi kalian tidak boleh sampai menemukannya!" katanya. "Sebelum pamanku menjadi kepala negara, rakyat Ruffino sangat menderita. Waktu itu keadaan di sana sudah begitu gawatnya, sehingga sudah hampir pecah revolusi. Di bawah pemerintahan pamanku keadaan berubah, menjadi tenang dan makmur. Kalau dulu penduduk yang miskin hidup seperti hamba sahaya, kini di mana-mana terjadi kemajuan. Garcia harus tetap menjadi presiden. Kami tidak mau kembali lagi hidup seperti masa silam, yang penuh dengan penderitaan. Pemerintahan pamanku, sedikit pun tidak ada cacat celanya. Pembantu-pembantunya semua orang-orang yang bijaksana dan terhormat - kecuali Manolos, bandit itu." "Pemeras?" desak Jupiter ingin tahu. Santora mengangguk dengan sedih. "Baiklah. Aku akan mengatakannya - lalu jika kau tahu di mana rahasia yang tersembunyi pada cermin itu, kurasa kau akan mau mengatakannya padaku." Santora memandang ke arah Juan Gomez. "Bangsat yang terkapar di lantai itu - ia dulu pelayan Diego Manolos. Kalian tahu orang seperti apa dia itu - pencopet, maling kelas teri! Dan kini kalian mengatakan bahwa ia juga penculik. Aku tidak heran mendengarnya. Orang itu berbahaya, tidak mengenal kasihan, dan tanpa perasaan. Sepuluh tahun lamanya ia menjadi pelayan Manolos. Jadi bisa kalian bayangkan sendiri, orang macam apa Manolos itu semasa hidupnya. Senora Manolos, teman Senora Darnley - adalah seorang wanita cantik, tapi wanita kadang-kadang tidak memakai akal sehat, kalau memilih calon suami. Akibatnya, Senora Manolos kemudian hidup menderita." "Perempuan dungu!" teriak Juan Gomez. "Diam!" bentak Santora. "Semasa mudanya pamanku juga pernah bersikap tolol. Banyak anak muda yang juga begitu. Pamanku dikirim ke Spanyol, untuk menuntut ilmu di universitas. Di sana ia berkenalan dengan Diego Manolos, yang juga disekolahkan ke Spanyol. Manolos memiliki cermin peninggalan Chiavo, Sang Penyihir. Manolos membelinya secara wajar. Mungkin itu kejujuran terakhir yang dilakukan olehnya. Chiavo memang punya seorang anak laki-laki. Anak laki-laki itu punya anak laki-laki pula, dan begitu seterusnya, sampai anak laki-laki yang terakhir. Keturunan terakhir Chiavo perempuan. Dia ini tidak menikah. Ketika Manolos menjumpainya, ia sudah uzur dan sangat miskin. Tinggalnya di sebuah kota kecil, di kawasan Kastilia. Keturunan Chiavo itu memiliki cermin hantu warisan moyangnya. Ia punya cermin, tapi uang tidak ada. Padahal uanglah yang sangat diperlukannya. "Manolos sendiri waktu itu miskin, tapi masih muda. Kecuali itu ia juga memiliki daya fantasi. Ia meminjam uang untuk bisa membeli cermin itu, yang kemudian dikirimkannya ke Madrid. Di mana-mana ia berbicara mengenai cermin itu. Di kedai-kedai minum, di tempat-tempat ceramah. Ia memiliki cermin Chiavo. Cerita itu tersebar ke mana-mana, dan orang mulai bertanya-tanya. Benarkah cermin itu bisa menunjukkan masa yang akan datang? Manolos berlagak seakan-akan cermin itu sungguh-sungguh mengandung kekuatan gaib. Ia berlagak bisa melihat ke masa depan, dengan bantuan cermin itu. "Perkembangan selanjutnya datang dengan segera. Mula-mula ia didatangi rekan-rekan mahasiswa dari universitas, dan pada mereka Manolos meramalkan berbagai hal yang akan terjadi. Ramalannya selalu hanya samar-samar saja, tapi para pemuda dungu itu sendiri yang ingin percaya. Kadang-kadang ramalannya menjadi kenyataan - atau setidak-tidaknya hampir kena, sehingga mulai timbul anggapan bahwa Manolos benar-benar bisa melihat masa depan lewat cermin Chiavo. Setelah itu berdatanganlah kaum berharta di kota itu, untuk minta diramalkan nasib mereka. "Kemudian Manolos menunjukkan belangnya. Wataknya yang asli keluar! Seorang pria yang sudah tua sekali dan menderita penyakit encok disarankannya agar berlayar, apabila ingin sembuh. Lelaki uzur itu berangkat. Dan saat ia sedang berlayar, rumahnya dirampok habis-habisan. Pada seorang wanita, Manolos mengatakan bahwa uang yang dimilikinya perlu diberkahi. Seluruh uang yang dimilikinya harus dibawa ke pendetanya di gereja tempat ia biasa bersembahyang. Wanita itu menuruti nasihat Manolos. Tapi di tengah jalan, uangnya itu dicopet. Masih banyak lagi kejadian-kejadian seperti itu. Tidak perlu kubeberkan semua. Kalian pasti bisa membayangkan sendiri, kalau melihat kecerdasan kalian yang masih begini remaja." "Licik sekali permainannya!" seru Pete. "Tapi polisi Spanyol - tidakkah mereka mencium adanya kejahatan itu?" "Ya, kemudian," kata Santora. "Tapi sebelumnya, bahkan sebelum ia mulai melakukan kejahatan, Manolos sudah mengarahkan perhatian khusus pada pamanku. Semasa masih muda pun pamanku sudah bercita-cita, ingin mengubah keadaan di Ruffino. Ia sering bicara mengenai cita-citanya, dan Manolos mendengarkan. Dalam hati saat itu Manolos mestinya sudah menduga bahwa pamanku bisa menjadi orang penting. Dan ia bertekad, ingin ikut menikmati pengaruh Paman kelak. Di samping itu keluarga Garcia tergolong kaum berharta. Timbul ide dalam hati Manolos, untuk melakukan pemerasan. Ia akan menggunakan cermin itu untuk... itu, yang biasa dilakukan penjahat terhadap orang penting yang tidak disukai, dalam film-film gangster..." "Maksud Anda, menjebak?" kata Bob. "Manolos hendak menjebak paman Anda?" "Ya, ya - betul. Itu yang hendak dilakukan olehnya. Kebetulan Manolos punya kenalan seorang gadis, yang bekerja sebagai pelayan pada suatu keluarga golongan terkemuka. Gadis itu sangat terpengaruh oleh Manolos. Dengan bantuan cerminnya, diyakinkannya gadis itu bahwa ia ditipu majikannya. Gadis itu berhasil diyakinkan bahwa ia adalah korban ketidakadilan, ia berhak untuk melakukan pembalasan. Manolos mengatakan, ia mengenal seorang pria yang bersedia membeli perhiasan milik majikan gadis itu dengan harga tinggi. Gadis itu disuruhnya mengambil perhiasan itu, lalu memasukkannya ke dalam sebuah kotak yang harus dibungkus dengan kertas merah. Urusan selebihnya akan diatur olehnya. Pria itu nanti akan menjumpainya untuk menyerahkan uang pembayaran yang dimasukkan dalam sampul, lalu gadis itu harus menyerahkan kotak yang berisi perhiasan pada orang itu. Gadis itu menurut saja. Dicurinya perhiasan majikannya, lalu dijumpainya pria yang penampilannya sudah dijelaskan Manolos padanya. Pria itu menyerahkan sebuah sampul padanya, dan gadis itu memberikan kotak yang terbungkus kertas merah pada orang itu. Pria itu pamanku!" "Pencuri!" sergah Juan Gomez. "Pamanku tidak tahu-menahu tentang urusan itu!" balas Santora sambil berteriak pula. "Ia mengira, dengan perbuatannya itu ia telah menolong Manolos. Dikiranya dalam sampul yang diserahkannya itu ada surat untuk gadis itu, dan kotak yang diterimanya berisi hadiah untuk Manolos. Gadis itu dijumpainya dijalan, dekat sebuah pancuran air. Manolos ternyata juga di situ, bersembunyi dengan membawa kamera foto. Manolos memotret pamanku ketika berjumpa dengan gadis itu. Dalam fotonya nampak paman menyerahkan sebuah sampul padanya!" "Tentu saja kejadian itu kemudian diketahui oleh polisi di sana," kata Jupe. "Itu sudah dengan sendirinya! Gadis itu sangat terkejut ketika membuka sampul yang diterima, karena isinya bukan uang, melainkan lembaran kertas belaka. Gadis itu sangat ketakutan. Kemudian, ketika majikannya mengetahui perhiasannya lenyap dan langsung memanggil polisi, sambil tersedu-sedan gadis itu mengakui segala-galanya. Tapi saat itu pamanku sudah dalam perjalanan pulang, kembali ke Ruffino. Jadi ia tidak mendengar berita bahwa ia dituduh bersekongkol dengan pencuri. Lama sekali ia tetap tidak tahu apa-apa mengenai hal itu. Sedang Manolos - ia berhasil meloloskan diri pada saat yang tepat dari Madrid, dengan membawa cermin, foto Paman dan gadis malang itu, yang dibuatnya secara sembunyi-sembunyi - serta perhiasan yang dicuri. Begitu ia pergi, muncul berita-berita dalam surat kabar tentang dirinya, serta kejahatan yang dilakukan olehnya melalui cermin yang dikatakan ajaib itu." "Jadi ia kembali ke Ruffino, dan di sana langsung melakukan pemerasan terhadap paman Anda?" kata Pete. "Ia memang kembali ke Ruffino, tapi mulanya ia belum melakukan apa-apa," kata Santora. "Soalnya ia punya uang, yang diperolehnya sebagai hasil kejahatan di Spanyol. Ia menunggu. Ia menikah dengan Isabella, karena wanita malang itu anak satu-satunya dari seorang hartawan. Dan ia menunggu. Kemudian, dua belas tahun yang lalu, ketika tiba saat pemilihan umum, ketika di negeri kami nyaris saja pecah revolusi - saat itulah ia beraksi. Pamanku dikiriminya satu kopi dari foto yang dibuatnya, disertai kopi berita-berita yang dimuat dalam harian-harian di Spanyol mengenai peristiwa itu. Pamanku pernah terlibat dalam kasus kejahatan, dan itulah buktinya. Tidak peduli bahwa Paman Garcia tidak pernah tahu-menahu mengenai urusan itu. Tidak peduli kejadian itu sudah lama lewat. Kopi itu buktinya, yang bisa menghancurkan nama pamanku. Ia takkan bisa memenangkan pemilihan umum. "Akhirnya pamanku tunduk. Diturutinya tuntutan bajingan itu. Mula-mula dalam bentuk uang. Tapi dengan segera itu saja sudah tidak lagi dianggap cukup. Manolos menuntut kekuasaan. Dan ia diberi kekuasaan. Manolos memiliki rumah yang besar, dan juga martabat - tapi itu tidak banyak. Setiap tahun, pada hari pemilihan umum diadakan, pamanku setiap kali menerima satu kopi lagi dari foto itu, serta kopi artikel-artikel surat kabar lama yang membahayakan nama baiknya. Akhirnya Manolos meninggal dunia, dan kami - aku dan Paman - kami berharap dengan begitu musibah akan berakhir. Kami mengira pemerasan takkan berlanjut lagi. "Aku mendatangi Senora Manolos. Kasihan. Ia kujumpai sedang menangis. Aku sebenarnya ingin minta izin padanya, apakah aku boleh menggeledah rumahnya. Itu bukan pertanyaan yang gampang diajukan, karena Senora Isabella benar-benar wanita terhormat. Sebelum aku bisa mengambil keputusan tentang cara yang paling baik untuk mengajukan permintaan izin itu, ia menyampaikan keluhan padaku, mengenai Juan Gomez ini. Kata Senora Isabella, cermin peninggalan almarhum suaminya dikirimkan olehnya pada seorang teman yang tinggal di Los Angeles, lalu Gomez ketika mengetahui hal itu lantas marah sekali padanya. Gomez berteriak-teriak mencaci-maki, menggoblok-goblokkan dirinya. Senora Isabella cemas sekali saat itu, takut kalau-kalau dipukul oleh Gomez. "Saat itulah aku langsung tahu. Negatif dari foto itu pasti disembunyikan dalam cermin itu. Satu-satunya orang pada siapa Manolos mungkin menceritakan rahasianya, hanya Gomez saja - Gomez, pelayan bajingan! Lalu ketika sore itu juga Gomez berangkat dengan pesawat terbang ke Los Angeles, saat itu aku merasa pasti bahwa dugaanku benar!" "Jadi Anda lantas menyusul kemari, lalu berusaha membeli cermin itu dari Mrs. Darnley," kata Jupiter Jones menyimpulkan. "Ketika upaya Anda itu tidak berhasil, Anda lantas menceritakan kisah karangan Anda sendiri, bahwa Anda keturunan Chiavo. Lalu ketika siasat itu juga tidak berhasil, sementara paman Anda mendesak agar Anda cepat-cepat bertindak, Anda menyewa tenaga Baldini. Tukang sulap itu Anda suruh pura-pura menjadi hantu dalam cermin." Santora menundukkan kepala. "Aku sebenarnya malu," katanya. "Aku tidak berniat menakut-nakuti wanita dan anak-anak. Tapi, habis bagaimana - aku sudah kehabisan akal." Setelah itu ruangan senyap sejenak. Terdengar bunyi derap langkah berat di luar, di depan gudang, disusul bunyi pintu yang dibuka. "Polisi datang," kata Pete. Ia hendak berdiri, membebaskan Gomez dari tindihan. "Apa yang kita katakan pada polisi nanti?" kata Santora. Mukanya pucat lesi. "Mereka pasti akan memeriksa cermin itu!" "Ha!" Gomez tertawa jelek. Ia menggeliat untuk melepaskan diri dari tindihan Pete dan Jeff, lalu cepat-cepat berdiri. Disambarnya potongan kayu yang sudah tidak dipegang lagi oleh Santora, lalu sambil menggenggamnya ia meloncat ke arah cermin. "Aku harus mendapat bukti itu!" teriaknya, "dan sesudah itu takkan ada lagi yang berani..." Tiba-tiba ia terpaku pada posisi setengah merunduk, sementara matanya menatap ke dalam cermin hantu yang memantulkan bayangan samar dari mukanya sendiri yang sedang menyeringai karena takut bercampur berang. Kayu yang dipegangnya terlepas. Ia menjerit dengan suara mengerikan, lalu lari. Tapi ia tersandung kakinya sendiri, lalu jatuh ke dalam lubang yang ada di lantai. Terdengar bunyi ceburan di bawah. Detik berikutnya nampak sinar terang memasuki ruangan, disertai suara sejumlah orang berpakaian seragam. Sekali lagi terdengar jeritan seram yang tadi. Datangnya dari arah air yang ada di bawah lantai gudang. "Negatif itu!" kata Santora dengan bisikan parau. "Mana negatif foto itu?" Jupiter melangkah ke balik cermin. Dengan jempol dan telunjuk dikelupasnya selembar label yang tertempel pada panel belakang. Label itu diserahkannya pada Senor Santora, berikut suatu benda lain. "Mikrofilm," kata pria itu dengan suara lirih. "Ya, tentu saja. Tidak mungkin barang lain. Mikrofilm, di balik salah satu label yang ditempelkan di panel belakang cermin. Di balik label yang paling baru." Senor Santora cepat-cepat mengucapkan terima kasih, lalu menyelipkan film berukuran sangat kecil beserta robekan label ke dalam kantungnya. "Jeff Parkinson?" seru salah seorang petugas kepolisian, yang berpangkat sersan. "Di antara kalian ada anak yang bernama Jeff Parkinson?" "Saya," kata Jeff. Dua orang polisi berdiri dekat lubang di lantai, sambil mengulur tali. Dengan cepat Gomez sudah mereka hela keluar dari air. Penculik itu roboh ke lantai, lalu menangis tersedu-sedu. Sersan polisi memandang lelaki basah kuyup yang meringkuk itu dengan wajah masam, lalu menoleh ke arah Jeff. "Dia itu orang yang menculikmu?" katanya. "Betul. Namanya Juan Gomez." "Dan orang ini?" Sersan itu menganggukkan kepala ke arah Santora. "Ini Senor Santora," kata Jupe dengan singkat. "Teman kami. Ia menolong kami." "Kenapa orang ini?" seru salah seorang polisi. Ia membungkuk, memperhatikan Gomez. "Hantu itu!" kata Gomez terbata-bata. "Aku melihatnya... dalam cermin! Cermin itu... aku..." "Ada apa dengan cermin itu?" Sersan polisi memandang cermin Chiavo dengan perasaan heran. "Cermin itu dulu milik seorang penyihir termasyhur," kata Jupiter Jones. "Kata orang, di dalamnya ada hantu. Penculik itu sangat takut kelihatannya, ya? Mungkin karena ia merasa melihat hantu." Polisi itu mendengus. Ia tidak mau percaya. "Orang bisa saja terkecoh khayalannya sendiri," kata Jupiter, "apalagi dalam keadaan remang-remang seperti di tempat ini." "Ya, kalau itu bisa saja," kata petugas polisi itu. Anak-anak, dan juga Senor Santora, memandang ke dalam cermin yang tersandar di gudang berdebu itu, mencerminkan dinding-dinding telanjang serta sarang labah-labah. Cermin itu kelihatan biasa saja. Cermin kuno, yang kebetulan jelek sekali bingkainya. Tapi walau begitu anak-anak bergidik juga sedikit. Mereka tidak menunggu lebih lama lagi ketika sersan polisi menyuruh mereka keluar. Mereka keluar dengan segera. Bab 18 UNDANGAN UNTUK ALFRED HITCHCOCK DUA minggu kemudian Jupiter beserta kedua rekannya datang berkunjung ke kantor Alfred Hitchcock. Jupiter membawa sampul surat, yang diserahkannya pada sutradara film yang terkenal itu. Ia tidak mengatakan apa-apa, selain menyodorkan sampul itu. "Eh?" kata Mr. Hitchcock. Dibukanya sampul itu, lalu dikeluarkannya kertas surat berwarna kuning gading yang kelihatannya mahal. Dibacanya sekilas beberapa baris kata-kata yang tertulis di situ, lalu diletakkannya surat itu ke atas mejanya. "Jadi aku diundang Mrs. Jonathan Darnley untuk menghadiri jamuan makan malam, pada kesempatan mana aku akan bisa berkenalan dengan Senor Rafael Santora," katanya. "Aku kenal Mrs. Darnley, dan aku tahu pasti ada alasan tertentu, kenapa kalian yang disuruhnya membawa undangan ini." Bob tersenyum. Ia menyodorkan sebuah map arsip pada Mr. Hitchcock. "Saya rasa ini bisa dianggap informasi yang harus dirahasiakan," katanya. "Tapi kami mengatakan pada Senor Santora bahwa Anda tertarik pada kasus ini. Dan juga bahwa Anda bisa menyimpan rahasia." "Berani juga kau berkata begitu," kata Mr. Hitchcock, sambil membuka map. Sementara ketiga remaja itu menunggu tanpa berbicara, Mr. Hitchcock membaca catatan yang diketik oleh Bob, mengenai Kasus Cermin Berhantu. Akhirnya sutradara terkenal itu selesai membaca halaman paling akhir. Kini ia menoleh ke arah Jupiter. "Kurasa kau bisa menebak apa rahasia yang ada pada cermin itu setelah mendengar tentang adanya sebuah foto," katanya. "Begitu pula di mana foto itu disembunyikan." "Memang," jawab Jupiter. "Ketika Senor Santora bercerita tentang pamannya yang diperas dengan sebuah foto sebagai alat, saya langsung tahu bahwa pasti foto itu ada negatifnya, yang disembunyikan di salah satu tempat. Karena cermin sudah kami periksa dengan cermat - sampai dibongkar segala - maka satu-satunya tempat yang mungkin hanyalah di balik label-label yang ada di belakangnya. Label-label itu seperti yang biasa dipasang tukang reparasi perabot. Manolos memindahkan foto dan artikel koran-koran yang dikatakannya merupakan bukti itu ke mikrofilm, karena negatif yang biasa ukurannya terlalu besar, tidak bisa disembunyikan di balik label seperti itu. Setiap tahun dilepaskannya mikrofilm itu dari label yang menutupi, lalu dibuatnya kopi foto yang baru untuk kemudian disampaikan pada Presiden Garcia. Sementara ini kami sudah mendengar bahwa Manolos memiliki kamar gelap untuk mencetak foto di rumahnya. Setelah mencetak kopi baru, mikrofilm itu disembunyikannya lagi, di bawah label baru. Saya rasa label-label itu dicurinya. Atau bisa juga sengaja disuruh cetak olehnya." "Aku heran, kenapa ia begitu mempercayai Juan Gomez," kata Mr. Hitchcock. "Padahal orang itu kan jelas-jelas bajingan. Apa sebabnya Manolos membiarkan Gomez tahu bahwa bukti-bukti itu disembunyikan di balik cerminnya itu?" "Tentang itu, kita takkan mungkin bisa mengetahuinya dengan pasti," kata Jupiter. "Gomez tetap membisu. Mungkin Manolos berhasil menjinakkan Gomez dengan janji bahwa rahasia itu kapan-kapan akan diwariskan padanya. Bisa juga Gomez selama itu cuma menduga-duga saja, bahwa cermin itulah sumber kekuasaan Manolos. Mungkin Gomez membantu Manolos mengambil mikrofilm itu setiap tahun, walau saya yakin ia takkan mungkin diizinkan melihat apa yang dilakukan sesudah itu." "Repot sekali, padahal hanya menyangkut sebuah mikrofilm saja," kata sutradara itu. "Ia kan bisa menyembunyikannya di mana saja." "Manolos itu ternyata hebat daya fantasinya," kata Jupiter Jones. "Perbuatannya mengandung semacam keindahan - walau keindahan yang tidak patut ditiru. Mulanya cermin itu dipergunakannya untuk menyebabkan seorang gadis pelayan yang malang di Madrid mau melakukan kejahatan. Kejahatan itu kemudian disalahgunakan oleh Manolos untuk melancarkan tuduhan palsu terhadap Garcia. Dan bukti yang memberatkan kedudukan Garcia kemudian disembunyikannya di belakang cermin itu juga." "Memang indah," kata Mr. Hitchcock. "Lalu apa kata polisi tentang segala urusan ini?" "Mereka beranggapan, Gomez itu orang sinting," kata Pete, "dan bisa dipastikan bahwa tidak ada yang akan membantah anggapan itu. Biar saja ia dikira gila!" Mr. Hitchcock mengangguk. "Dan aku yakin, polisi akan membiarkan Gomez terkurung selama waktu yang tidak bisa dibilang sebentar. Tapi coba katakan, bagaimana caranya sampai Gomez bisa tahu di hotel mana Santora menginap? Dan kenapa Santora bisa muncul tepat pada waktunya di gudang yang di San Pedro itu?" "Senor Santora dan Gomez, keduanya sama-sama saling membuntuti," kata Jupe menjawab. "Keduanya sama-sama khawatir, jangan-jangan lawan berhasil lebih dulu memperoleh cermin itu. Menurut dugaan kami, Gomez bisa tahu bahwa Santora datang, karena ia terus mengamat-amati rumah Mrs. Darnley. Mungkin ia melihat Santora datang ke sana, lalu setelah itu membuntutinya sampai ke hotel. Ia tahu bahwa Santora pasti akan berusaha merintangi niatnya. Karena itu ia mendului, dan menyerang Santora. "Sedang Santora mengetahui di mana Gomez tinggal dengan cara yang tidak sempat kami lakukan. Ia menyewa mobil lalu berkeliaran di kawasan Silverlake, sampai berhasil mengetahui tempat tinggal sepupu Gomez di situ. Dari situ ia membuntuti Gomez. Dengan cara itu ia jadi tahu tentang rumah kosong di tanah yang dulunya perkebunan di lembah San Fernando. Tapi ia tidak tahu, apa sebabnya orang yang dibuntutinya itu menaruh minat pada rumah itu. Pada hari ia diperbolehkan meninggalkan rumah sakit, ia berhasil menemukan Gomez di rumah tua itu. Tapi ia tidak menduga bahwa Jeff ada di dalam. Santora hanya melihat mobil Gomez yang diparkir di depan, dan yang kemudian dibuntutinya sampai di San Pedro." "Senor Santora bernasib mujur, karena bisa saja Gomez membunuhnya," kata Mr. Hitchcock. "Tapi bagaimana dengan tukang sulap itu? Bagaimana dengan Baldini? Aku rasa-rasanya pernah mendengar nama itu." Jupiter Jones terkekeh pelan. "Santora tahu siapa Baldini, karena pernah melihatnya mengadakan pertunjukan di Ruffino. Baldini itu banyak kemahirannya, antara lain bisa meloloskan diri, entah dengan cara bagaimana. Kata Santora, ia pernah melihat Baldini diborgol dan dilibat dengan rantai yang kemudian dikunci dengan beberapa gembok. Tapi dalam tiga detik saja ia sudah bebas kembali. Semua kunci berhasil dibuka olehnya dalam waktu sesingkat itu. Santora merasa yakin, Baldini pasti sanggup memasuki rumah Mrs. Darnley yang begitu kokoh pengamanannya. "Santora menemukan Baldini dengan cara yang gampang sekali. Diteleponnya agen-agen yang menjadi perantara pertunjukan untuk kelab-kelab malam, sampai akhirnya ia menemukan agen yang mewakili kepentingan Baldini. Mulanya ia berniat menyuruh Baldini menyelinap keluar-masuk rumah itu, untuk pura-pura menjadi hantu cermin di situ. Tapi Baldini ternyata kenal dengan Drakestar. Ia juga tahu tentang pintu rahasia di dinding ruang perpustakaan, serta bilik tersembunyi yang ada di bawahnya. Baldini masuk ke rumah Mrs. Darnley, lalu tinggal di situ selama masih diperlukan. Imbalan yang diberikan Santora padanya cukup besar jumlahnya, dan kecuali itu Santora juga mengatakan bahwa penyaruan itu hanya keisengan semata-mata, untuk mempermainkan Mrs. Darnley. "Kasihan Baldini - ketika kami menemukan pintu rahasia di dinding itu lalu menuruni tangga yang ada di belakangnya, ia tidak mau tahu lagi apakah itu keisengan atau bukan. Ia langsung lari! Sesudah itu, ketika sudah berhasil meloloskan diri dari rumah Mrs. Darnley yang terkunci rapat, ia menarik kesimpulan bahwa ia terlibat dalam urusan yang rupanya terlalu berat baginya. Ia cepat-cepat pindah dari tempat pemondokannya, lalu menyembunyikan diri. Ia tidak mau lagi berurusan dengan kami, begitu pula dengan Santora. "Tapi kini Mrs. Darnley sudah memaafkannya. Ia memasang iklan pemberitahuan di majalah Variety dan di Hollywood Reporter, agar Baldini tahu bahwa urusan itu sudah beres. Tukang sulap itu akan ikut hadir pula dalam perjamuan makan yang diadakan Mrs. Darnley. Ia akan datang dengan jubah Drakestar, untuk memperagakan pertunjukan Drakestar yang gemilang. Ia akan menghilang - lewat pintu rahasia itu." "Pintu itu mestinya sangat kokoh buatannya," kata Mr. Hitchcock. "Ingin juga aku melihatnya." "Anda akan bisa melihatnya, jika menghadiri undangan itu," kata Pete menjanjikan. "Asyik, ah," kata Alfred Hitchcock. "Dan kurasa Henry Anderson, pemuda tukang roti yang hebat itu, kan tidak sampai mengalami kesulitan dengan majikannya, ya?" "Sama sekali tidak! Segala petugas polisi yang mengepung gudang di San Pedro waktu itu rupanya kemudian merasa lapar. Mereka memborong semua roti dan kue-kue yang dibawanya. Tentu saja majikannya sangat senang ketika ia kembali dengan mobil yang sudah kosong." Pete tertawa nyengir, lalu meneruskan, "Tapi kini Henry menganggap pekerjaan sebagai tukang roti itu terlalu membosankan, karena tidak ada serunya! Ia sekarang ingin menjadi detektif swasta! Mrs. Darnley sudah berjanji untuk sejauh mungkin menolongnya ke arah itu." "Hebat!" kata Mr. Hitchcock. "Dan kalian tadi benar, segala hal yang kalian berikan padaku akan tetap kurahasiakan. Jika kalian berniat akan menerbitkan kisah kasus ini sebagai buku, aku yakin kalian juga akan melakukan hal yang sama. Demi nama baik negara yang terlibat, kalian harus mengubah namanya." "Itu sudah pasti," kata Jupiter Jones berjanji. "Lalu jika aku hadir dalam perjamuan makan itu, apakah aku juga akan bisa melihat cermin berhantu yang diributkan dalam kasus ini?" tanya Mr. Hitchcock. Jupiter mengangguk. "Tapi tidak lagi digantungkan di ruang perpustakaan," katanya. "Soalnya, Senora Santora akan datang dari Ruffino, sedang ia benci sekali pada cermin itu. Karenanya Mrs. Darnley lantas menyuruh agar cermin itu ditaruh saja di bilik yang tersembunyi di bawah lantai itu. Saya rasa Mrs. Darnley sekarang juga tidak suka lagi pada alat pengaca itu. Gara-gara cermin itu, nyaris saja ia kehilangan Jeff. Lagi pula..." Jupiter Jones tidak melanjutkan kalimatnya. Pandangannya menerawang. "Kau kan tidak berniat mengatakan, bahwa Mrs. Darnley merasa ngeri?" tanya Mr. Hitchcock. "Bukan, bukan itu. Tapi Gomez kan mengatakan bahwa ia melihat sesuatu di dalamnya, dan... yah, kemudian orang itu ditimpa bencana, kan? Kini ia meringkuk di penjara, mungkin untuk waktu yang lama." "Kalau kalian sendiri, bagaimana pendapat kalian mengenai cermin itu?" tanya Mr. Hitchcock. Jupiter tersenyum. "Menurut saya, cermin itu jeleknya luar biasa - dan jika saya pemiliknya, saya juga akan menyembunyikannya di kolong rumah!" Edit by: zhe (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net